Minggu, 12 Februari 2012

AKU DAN TUAN TITISAN NERAKA


Dimuat di majalah CHIC 101. 2-16 nov 2011


AKU DAN TUAN TITISAN NERAKA

Namaku Silvi, 25 tahun, single, sekretaris seorang direktur. Walau pun umurku sudah seperempat abad begini, tapi yang namanya “cinta” adalah perjalanan ajaib dalam hidupku. Aku yakin kalau kamu sudah melalui 25 tahun hidup, pasti kamu pernah jatuh cinta pada seseorang, bahkan pernah pacaran beberapa kali. Tapi aku hampir-hampir tidak pernah sungguh-sungguh jatuh cinta pada seseorang. Sumpah! Memang sih beberapa aku kali tergila-gila pada artis, atlit, bahkan seniman. Tapi yang namanya ngefans, mau cinta segimana juga, tetap saja cuma mimpi. Jadi kupikir itu tidak cukup untuk bisa disebut “cinta yang sesungguh-sungguhnya cinta”.

Semasa aku sekolah, pernah juga aku naksir seseorang, tapi perasaan itu tidak pernah bertahan lama sampai akhirnya terkikis dengan mudah. Waktu SMA aku terpesona pada kakak kelas yang super tampan, pintar, ketua Pasukan Pengibar Bendera. Tapi begitu aku sadar kalau dia setiap hari dikerubutin cewek-cewek, aku jadi eneg sendiri dan mundur teratur tanpa komando. Lain waktu ada temen cowok yang mengajak aku jadian, tapi aku tolak.
“ ’Bis dia cebol sih!” begitu alasanku waktu itu. Sebenarnya sih bukan cowok itu yang cebol, tapi memang pada saat itu aku relatif lebih tinggi dibanding teman-teman cewek. Namun, setelah kuliah sepertinya cowok itu badannya melar 20 cm dalam waktu semalam. Tapi entah mengapa aku tidak pernah menyesal menolaknya. Padahal bisa dibilang dia satu-satunya cowok yang pernah ngajak aku pacaran.

Bagaimana tidak, semasa sekolah secara fisik aku sama sekali tidak menarik. Aku ingat dulu teman-teman menyebutku “Betty La Fea”, tokoh berwajah lugu dan bertingkah konyol dalam sebuah opera sabun dari Amerika Selatan. Karena aku memang mirip seperti Betty, meski pun tidak seekstrem itu. Rambutku panjang, dan selalu aku kepang. Dahiku yang selebar lapangan sepak bola aku samarkan dengan poni tebal. Dan aku memang ditakdirkan punya mata rabun, memaksaku berkacamata sejak kelas 4 SD. Jadi cowok yang naksir aku sama langkanya dengan ikan kerapu bibir dower di perairan Sulawesi. Untung saja aku tidak memakai kawat gigi, bahkan terus terang sebenarnya aku punya jajaran gigi yang rapi dan bagus, membuat senyumku cukup memikat.

Itu dulu. Kalau sekarang aku bisa jadi sekretaris, karena memang penampilanku sudah berubah. Aku tidak lagi memakai kacamata (terima kasih, Pak Dokter), dan sekarang aku lebih rajin ke salon untuk mengatur gaya rambutku. Jadi, tiba-tiba saja, aku berubah menjadi cantik. Ya... tidak terlalu cantik sih, tapi cukup pantas lah untuk seorang sekretaris.

Dan sekarang, tiba-tiba saja aku jatuh cinta! Pada siapa? Nanti kamu juga tahu.
Aku baru enam bulan kerja di perusahaan ini, sebuah perusahaan distribusi. Aku menjadi sekretaris direktur yang galaknya minta ampun! Bahkan pada hari pertama aku bekerja, aku sudah dibuatnya menangis. Dan hari kedua, aku sudah membuka daftar lowongan pekerjaan di koran dan internet. Kalau ada kerjaanku yang salah sedikit saja, bosku itu akan marah dan mengkritik habis-habisan. Bukan cuma aku yang jadi korban, semua staf di kantor ini sudah pernah kena sambal setannya. Sampai-sampai beliau mendapat julukan “Tuan Titisan Neraka”.

Di bulan ketiga, aku mulai mendapat tugas tambahan, diluar kerjaan kantor! Gilak kan? Hari itu Tuan Titisan Neraka akan pergi ke Beijing, mendadak! Dan dia baru ingat kalau pada hari yang sama dia harus mengambil raport anaknya. Maka... pagi-pagi dia meneleponku dan memintaku untuk segera ke sekolah anaknya yang bungsu dan mewakilinya mengambil raport. Memang beliau seorang duda, istrinya sudah meninggal 8 tahun yang lalu, sesaat setelah melahirkan anaknya yang terakhir. Jadi aku untuk sementara berperan sebagai Ibu tiri, atau Ibu asuh, bagi anaknya itu.

Dengan batin ngedumel aku berangkat mengambil raport si kecil, yang bernama David, dan pulang bersamanya. Sepanjang jalan David tidak henti-hentinya bertanya, kenapa papa ga ngambil raport, kenapa bukan pak Encek, sopir mereka saja yang ambil raportnya, memangnya papa mau ke mana, memangnya ngapain papa mau ke sana, dan ini dan itu. Aku sampai capeeeek menjawabnya. Hadoooh, nih anak, bawel banget sih.
Tapi lalu hatiku jadi trenyuh setelah dia bercerita bahwa dia tidak pernah merasakan punya Ibu dan ingin tahu bagaimana rasanya memiliki Ibu. Dia juga bercerita kalau papanya sebenarnya sayang padanya, tapi selalu sibuk kerja dan kerja.
Siksaan itu tidak berhenti hingga sampai di rumah. Itu pertama kalinya aku mengunjungi rumah bosku. Begitu sampai, David langsung berlari menjelang papanya.
Dan saat itulah, keajaiban terjadi.

Aku tiba-tiba melihat Tuan Titisan Neraka sebagai sosok yang begitu berbeda. Dia menyambut David dengan pelukan dan ciuman yang begitu hangat, berbicara dengan nada dan intonasi yang sangat lembut, bahkan begitu sabar menghadapi cecaran pertanyaan dan cerita David yang bertubi-tubi. Tuan Titisan Neraka memandang David dengan tatapan yang berbeda, penuh kasih, perhatian, dan berbinar penuh cinta. Dia menggendong David menaiki tangga (padahal tuh anak bodinya seukuran bayi kuda nil!) sambil terus menanggapi celotehannya yang tak pernah putus. Sementara aku ditinggal sendirian di ruang tamu, bengong, bingung. Raport dan tas David masih di tanganku. Aku letakkan saja di sofa, dan mumpung sepi, aku berkeliling melihat ruang tamu yang mewah itu.

Foto-foto keluarga terpasang dengan rapi, foto Tuan Titisan Neraka dengan almarhumah istrinya (cantik sekali!), juga beberapa foto dengan anak-anaknya. Dia terlihat begitu berbeda, bukan Tuan Titisan Neraka yang biasa aku temui di kantor. Dia tampak sangat bahagia, tersenyum dan tertawa lepas, begitu mesra pada keluarganya, dan keluarganya pun sangat menyayanginya. Sejak saat itu, aku tidak tega lagi menyebutnya Tuan Titisan Neraka.

Dari sana aku mengantarkan ke bandara. Dan entah mengapa, mungkin karena merasa tidak enak sudah menyuruhku mengambil raport anaknya, sikapnya begitu manis. Bicaranya lembut dan perlahan, tidak menghentak-hentak seperti komandan pasukan perang, dan ajaibnya dia lebih banyak tersenyum, berulang kali mengucapkan terima kasih. Bahkan tanpa kutanya dia bercerita tentang keluarganya, tentang anak-anaknya, tentang almarhumah istrinya.

Saat itu, aku tersadar bahwa dia adalah manusia biasa.

Sejak saat itu, aku mulai merasa berbeda. Kuperhatikan lagi, semua sikap galaknya selama di kantor bukan karena dia jahat atau penindas, tapi karena dia sangat perfeksionis. Dia memasang standar tinggi pada segala hal, dan dia mengharapkan kesempurnaan kinerja anak buahnya. Karena saat-saat tertentu, ketika aku tidak melakukan kesalahan atau bahkan melakukan pekerjaan dengan baik, dia tidak marah dan terkadang memuji, meski pun tidak secara terang-terangan.

Bukan itu saja yang berubah dari pandanganku terhadap bosku ini. Aku juga jadi sadar bahwa ternyata dia memiliki wajah yang tampan. Hanya saja keriput dan uban berlomba-lomba menyerangnya, meski pun usianya baru 50 tahun. Kudengar dari pegawai yang sudah lama bekerja di sini, memang bosku ini menjadi begitu cepat menua sejak istrinya meninggal. Mungkin karena dia sangat berduka.

Sebenarnya aku tidak yakin, apakah yang aku rasakan ini cinta atau sekedar kagum saja? Maka aku cari ciri-ciri orang jatuh cinta di majalah dan internet, lalu kuteliti sendiri diriku.

Bila berjumpa merasa bahagia: cek. Bila bertatapan merasa malu dan tidak berani menatap matanya secara langsung: cek. Bila berpisah merasa sedih: cek. Bila jauh khawatir dia terpikat pada wanita lain: cek. Berdandan dan memakai parfum dua kali lipat dari biasanya: cek. Selalu mencari tahu apa saja yang baru atau akan dia lakukan: cek. Jadi lebih suka memuji dia: cek. Menjadi lebih riang daripada biasanya: cek.

Huwah! Gawat! Ohmaigot, apa memang betul aku jatuh cinta pada bosku sendiri? Rasanya ingin aku menampar muka orang yang melotot memandangku dari balik cermin. Hei, dia tuh bosku sendiri, ga level, tau ga! Lagipula usianya 24 tahun lebih tua dariku, lebih pantas jadi ayahku daripada jadi pacar. Di mana-mana biasanya bos yang naksir sekretarisnya, ini malah kebalik.
Sadarlah, wahai manusia miskin cinta! Apa ga ada orang lain?
Ga ada!
Uhu hu hu, rasanya aku ingin menangis.

Tapi akhirnya kuterima saja kenyataan memalukan ini, kusimpan diam-diam, tidak akan kuceritakan pada siapa pun. Malu donk kalau ketahuan teman-teman kantorku kalau aku jatuh cinta pada Tuan Titisan Neraka. Bahkan sekarang setiap kali aku mendengar temanku menyebut julukan itu, rasanya ingin kuprotes saja. Tapi aku khawatir mereka akan curiga. Maka aku menyimpan cinta rahasia ini dari siapa pun.

Oh, sialnya aku. Langka jatuh cinta, eh sekalinya jatuh cinta aku harus merahasiakannya, karena ketidaklaziman yang kuderita.

Aku sadar, sejak aku jatuh cinta pada bosku, sikapku jadi lebih manis padanya, dan aku juga berusaha mengerjakan semua tugasku tiga kali lipat lebih baik dari sebelumnya. Walhasil, bosku ini juga jadi lebih baik padaku. Lebih sering tersenyum, memuji dan jarang marah-marah lagi. Meski pun terkadang aku rindu juga pada wajahnya kalau sedang marah.

Hingga suatu ketika, beberapa saat setelah aku menyerahkan surat-surat, termasuk sebuah undangan pernikahan dari koleganya, bosku yang ganteng itu (nah kan, sekarang aku menyebutnya bos ganteng) memanggilku ke ruangannya.
“Sil, kamu ada acara hari sabtu, minggu depan?” tanyanya tanpa menatapku, matanya masih melekat menatap laptopnya.
“Ga da, pak. Kenapa pak?”
“Undangan yang kamu kasih ke saya barusan, undangan nikah anaknya Pak Erwan...”
“Iya pak, kenapa?”
“Ya, saya kan ga punya pasangan. Kamu yang temani saya ya? Mau ngajak anak saya, pasti dia ga mau,” lalu dia berhenti dan menatapku. “Gimana? Mau kan?”
“Ah, loh, kok saya pak? Saya kan ga... gimana... gitu.”
“Gitu gimana?”
“Ya, ga pantes gitu pak, ga cocok. Wajah saya ndeso, pak.”
Bosku tertawa tergelak, “Ya dandan saja, seperti orang kutho, biar ga kelihatan ndeso lagi. Gimana? Mau ya?”

Wah, kalau sudah begini, bukan bertanya lagi namanya, tapi mendesak. Haduh, dalam benakku berkecamuk pakaian mana yang pantas kupakai ke pernikahan kelas atas begitu, rambutku harus kuapakan, pada siapa aku minta tolong untuk dandan? Karena terus terang aku tidak terbiasa dandan full make up.

Bosku menatapku tajam, tatapan yang mengintimidasi. Aku jadi takut untuk bilang tidak. Maka aku mengangguk saja, dan berkata “Ya deh” dengan suara pelan.
“Kalau perlu, kamu bawa juga komputer tablet atau laptopmu sekalian, siapa tahu nanti di sana kamu harus kirim email ke klien atau mencatat omongan saya,” tambahnya lagi sambil tersenyum. Uh, ga lucu!

Setelah itu aku melangkah gontai keluar ruangan. Aku harus membeli gaun yang cocok untuk acara itu, dan aku juga harus minta bantuan salon untuk mendandaniku. Sepertinya aku tidak punya pilihan lain.

Untung saja aku masih punya sisa uang gaji untuk membeli gaun. Kupilih yang warnanya merah marun, agar terlihat cukup elegan dan tidak memalukan bagi bosku. Sebenarnya sih dalam hati aku cukup senang juga, karena aku jadi punya waktu tambahan bisa bersama bosku yang ganteng. Selain itu, ini jadi kesempatanku untuk berdandan secantik mungkin. Dan menghadapi kenyataan dia memilihku untuk menemaninya, ah, membuatku melayang sampai hampir mendekati matahari. Tapi membayangkan bagaimana acara di sana nanti dan bertemu dengan banyak klien dan kolega bosku, aku jadi gugup dan demam panggung. Ah, sebaiknya aku diam saja, biar ga malu-maluin.

Ketika malam itu tiba, aku mengenakan gaun merah marunku, rambutku diangkat menjadi gelung kecil yang elegan dan wajahku tertutup make up halus. Cukup bagus lah. Acaranya diadakan di sebuah hotel besar, membuatku semakin demam panggung. Untung saja bosku tampak luwes dan tidak canggung. Dia memperkenalkanku pada teman-temannya dan sama sekali tidak tampak malu mengajak sekretarisnya yang lugu dan ndeso ini.

Selama acara aku cuma diam, tersenyum sesekali, lalu mengikuti bosku ke mana pun. Satu jam rasanya seperti tak ada habis-habisnya.
Dalam perjalanan pulang, tanpa kusangka bosku bertanya,
“Kamu sudah punya pacar, Sil?”
“Belum, pak,” jawabku malu-malu. “Ga ada yang mau sama saya,” tambahku.
“Ah masa? Kamu kan cantik?” dipuji begitu rasanya aku melayang sampai puncak kepalaku membentur atap mobil. Uf, untung aku punya kesempatan untuk menengok ke arah jendela, kalau tidak cuping hidungku yang memerah pasti terlihat jelas. Setelahnya kami mengobrol dengan ringan, renyah, sesekali tertawa. Sama sekali berbeda dengan suasana resmi yang terjalin di kantor. Percakapan kami sepanjang perjalanan pulang lebih menyenangkan daripada pesta mewah yang baru saja kami datangi. Yah, malam ini tidak terlalu buruk bagiku, bahkan aku cukup menyukainya. Dan aku bawa kenangan manis itu sebagai nina bobo sebelum aku tertidur.

Kabar bahwa aku menjadi pasangan bosku yang ganteng menyebar secepat bau kentut di kantor. Jelas saja semua teman menggodaku habis-habisan. Bahkan sampai dua hari kemudian mereka masih saja menggodaku. Aku senyum-senyum saja sambil menerima surat dan paket-paket kiriman untuk bosku pagi itu.

Sambil berjalan menuju meja, kucek satu per satu surat-surat itu. Ternyata ada satu paket yang ditujukan untukku. Hm, dari siapa ya? Rasa penasaran menguasaiku, aku buka kotak terbungkus kertas coklat itu cepat-cepat. Ternyata isinya sebuah gaun cantik bermotif bunga biru yang sangat anggun. Aku terpesona, harganya pasti selangit. Siapa yang mengirim? Tidak ada nama pengirimnya, hanya ada nama sebuah butik terkenal di kotaknya. Tiba-tiba telepon berbunyi, bos memanggilku. Sekalian saja kubawa surat-surat untuknya.
“Ada kiriman lain yang datang, ga Sil?” tanyanya sambil mengecek surat-suratnya.
“Ga ada tuh pak? Kiriman apa ya?”
“Bukan untuk saya, untuk kamu mungkin?”
Loh, kok dia bisa tahu? Jangan-jangan..., “Iya, ada pak, tapi buat saya.”
“Kamu suka?” tanyanya sambil tersenyum. Aku jadi terpana menatapnya.
“Eh, itu dari Bapak ya?” dia mengangguk sambil tersenyum, manis sekali. “Makasih banyak ya pak.”
“Sekalian kalau gitu ya, tolong buatkan saya janji, untuk hari jumat sore sepulang kerja. Saya mau ngajak dinner.”
“Siapa pak?” aku siap mencatat di notes kecilku. Lalu dia menatapku dan tersenyum lagi.
“Sama sekretaris saya yang namanya Silvi. Tanyakan dulu sama dia, mau apa ga dinner sama saya. Kalau mau, gaun yang saya kirim itu bisa dia pakai nanti.”

Aku menatapnya tak percaya. Apa artinya ini? Apakah artinya dia juga suka padaku? Apakah artinya aku tidak cuma jatuh cinta bertepuk sebelah tangan? Atau ini hanya sebagai ucapan terima kasih atas kesediaanku menjadi pasangannya kemarin? Aku tidak berani bertanya, bahkan aku tidak tahu harus berkata apa.

“Nanti saya tanyakan sama orangnya, pak,” jawabku sambil membalas senyumnya.
Aku keluar ruangan dengan hati berbunga-bunga. Kalau saja pertemuan ini nanti bisa disebut kencan, maka ini akan menjadi kencan pertama seumur hidupku. Aku catat dalam kalender di handphoneku: hari jumat, dinner dengan Pak Ardian yang ganteng. Lalu kuberi tanda cinta merah kecil di tepinya.

Kamis, 14 Oktober 2010

The Three Star Catchers


Agung, Huda dan Sapto berlomba menangkap bintang-bintang di langit. Hm, siapa pemenangnya ya? Dan apa yang terjadi ketika bintang-bintang itu tertangkap? Buku digital ini dijual di I Tunes App Store, untuk aplikasi Ipod Touch, I Phone, dan I Pad.

Kamis, 04 Juni 2009

judul : Permata-Permata Di Sungai

Kisah Wiwi, Peri Air Kecil

penulis : Fifi Afiah

ilustrasi : Ella Elviana

penerbit : Elex Media Komputindo


Kata Mora ada permata di sungai ini. Tapi untuk menemukannya ada beberapa hal yang harus dilakukan. Hhm, ini membuat Wiwi serta peri-peri air lain jadi penasaran. Benarkah ada permata di sungai ini? Dan seperti apa permatanya?

judul : Didi, Peri Tanah Kecil Yang Kotor
penulis : Fifi Afiah
ilustrasi : Ella Elviana
penerbit : Elex Media Komputindo


Didi senang sekali bermain bersama hewan-hewan penghuni tanah. Masalah muncul ketika dia kembali ke pemukiman para peri. Teman-temannya tidak mau bermain dengannya lagi. Kenapa ya?

Kamis, 27 November 2008

Cerita bergambar terbaru dari Elex Media Komputindo ini mengajak pembacanya untuk menyayangi binatang-binatang dan mencintai alam. Segera dapatkan keempat serinya di toko-toko buku terdekat.


Judul      : Burung Satin Biru dan Gadis Kecil Berjaket Biru

Penulis  : Fifi

Ilustrator: Denny RA

Penerbit : Elex Media Komputindo

 

Seekor burung satin bower bertengger di sebatang pohon di tengah taman. Setiap hari ia selalu memperhatikan seorang gadis kecil berjaket biru. Apa yang menarik dari gadis kecil itu? Mengapa burung satin bower begitu menyukainya?


Judul      : Mencari Rumah Si Kodok

Penulis  : Fifi

Ilustrator: Denny RA

Penerbit : Elex Media Komputindo

 

Si Kodok tiba-tiba melompat ke kamar Adi. Untung Adi segera menyelamatkannya sebelum Bibinya memukul si Kodok dengan sapu. Adi berusaha mencari rumah asal si Kodok ini. Dapatkah Adi menemukannya? Bagaimana nasib si Kodok selanjutnya?