Rabu, 19 Desember 2007

PETUALANGAN ZAMAR DAN DELAPAN LILIPUT PEMUSIK


Zamar adalah seorang anak biasa, yang setiap hari melakukan hal yang biasa, tinggal bersama keluarga yang biasa, di sebuah desa kecil yang juga biasa. Dan semua “biasa” itu akan tetap menjadi biasa seandainya dia tidak membuka kotak musik pemberian Neneknya.

Yup, kotak musik itu bukanlah kotak musik biasa, karena ternyata di dalamnya ada sesosok liliput yang ukurannya hanya sekepalan tangan. Liliput itu, yang bernama Redick, bercerita kalau dia ditawan oleh seorang pembuat mainan bernama Komor. Bersama 7 teman-teman liliputnya yang lain mereka dimasukkan ke dalam sebuah kotak kayu dan dipaksa untuk bermain musik di dalamnya. Dan setelah memohon-mohon, karena Zamar anak laki-laki yang mudah sekali tersentuh hatinya, akhirnya dia bersedia menolong Redick mencari ketujuh teman-temannya.

Dan sejak saat itu Zamar yang biasa menjadi tidak biasa lagi.

Dia menjadi seorang pengelana kecil yang berkeliling ke desa dan kota. Mencoba menemukan teman-teman liliput satu persatu. Mereka bertemu dengan seorang gadis manis bernama Bella, seorang Nenek tua yang kesepian bernama Nenek Olma, seorang peternak yang galak bersama istrinya yang jorok, sekelompok perampok jalanan, pedagang keliling yang hidup di lautan dan berpindah dari satu pulau ke pulau lain, seekor buaya yang lapar, sampai bertemu kembali dengan Komor, orang jahat yang menangkap liliput-liliput itu.

Tanpa sengaja pertemuan dengan liliput terakhir membawa mereka semua kembali ke rumah Komor, tempat dia membuat mainan-mainannya, termasuk membuat kotak-kotak musik. Komor tinggal dengan seekor ular berwarna kuning yang selalu bergelung manja di kaki kursi sambil sesekali mengintai para liliput, mencari kesempatan untuk menerkam mereka. Rumah itu pun penuh dengan tikus-tikus yang berkeliaran mencuri makanan di sela-sela kelengahan si ular. Dan dengan bantuan tikus-tikus itu pula Zamar dan liliput dapat bebas, setelah sebelumnya membuat Komor pingsan di rumahnya sendiri.

Dengan penuh peluh, keluh, dan perjuangan panjang akhirnya Zamar berhasil mengumpulkan kembali 8 liliput pemusik itu, meski pun pada akhirnya ia harus kehilangan salah satu liliputnya. Dengan bantuan kapal pedagang, Zamar dan para liliput akhirnya berhasil pulang ke Pulau Mota, rumah para liliput. Dan Zamar pun akhirnya bisa pulang kembali ke desa kecilnya setelah, tak terasa, 6 tahun ia pergi meninggalkan rumah.

MAWAR MERAH BUATAN NUNING


Dimuat di Kompas Anak 25 April 2004

Nuning tidak mengerti bagaimana ia tiba-tiba sudah berada di sebuah negeri yang asing, sangat asing. Sebelumnya siang itu ia sedang membuat bunga-bunga mawar dari pita merah. Sejak awal dia mendengar suara-suara berbisik di belakangnya, tapi dia tidak menemukan sumber suara itu. Dan tepat ketika bunga terakhir terangkai di vasnya, tiba-tiba, “BLUB!” muncul tiga kurcaci yang segera melompat seraya menyergap kepala Nuning dengan kain hijau. Tak memberi kesempatan bagi Nuning untuk menghindar, apalagi bertanya, “Siapa kalian? Mau apa kalian?”

Dan sedetik kemudian Nuning sudah berada di negeri ini. Negeri yang sangat aneh, penuh dengan pepohonan yang rimbun, rumput hijau dan lumut di sana sini. Nuning juga dikelilingi kurcaci-kurcaci mengenakan pakaian hijau. Parahnya lagi tak ada gunanya Nuning bertanya,

“Aku di mana? Kalian siapa? Mengapa aku di bawa kemari?” Karena ternyata kurcaci-kurcaci itu menggunakan bahasa yang sama sekali berbeda dan belum pernah Nuning dengar. Di depan Nuning kurcaci yang sudah tua, berjenggot putih lebat, berperut gendut, duduk di sebuah kursi yang terbuat dari belitan akar-akar tunjang pohon besar di belakangnya. Sepertinya ia adalah raja para Kurcaci ini.

Metruekaa, ko simanharo suhnaaitu ah?” Raja itu berkata pada Nuning

“Ha?” Nuning sama sekali tidak mengerti ucapannya.

Ko simanharo suhnaaitu, kopuoliy. Huniwopoo, goro?”

“Ha?! Bicara apa sih? Sumpah saya nggak ngerti,” Nuning semakin bingung. Tapi sang Raja malah berkata-kata semakin panjang sambil menunjuk ke pepohonan di sekililingnya. Nuning bengong. Raja tersenyum melihat ekspresi Nuning, lalu ia berkata pada kurcaci lain, yang tampaknya kurcaci wanita. Usia kurcaci itu sepertinya sebaya dengan Nuning. Ia mengenakan pakaian hijau, berambut panjang dan berwajah manis.

Kii potukri!” Raja memberi perintah padanya.

Goh,” kurcaci wanita itu menunduk hormat pada Raja. Lalu ia mengajak Nuning untuk keluar dari situ. Nuning menurut saja. Ia berjalan mengikuti kurcaci wanita itu sambil matanya tak henti memperhatikan tempat itu.

Nuning dibawa ke sebuah ruangan. Dan ternyata bunga yang baru saja selelsai dibuatnya di rumah, sekaligus bahan dan alatnya, pita merah, kawat dan pelipitnya, benang, jarum, dan gunting, sudah ada di situ.

Pokiuty, erwasoo hui yupokliugi wiiku,” kurcaci wanita itu menunjuk bunga mawar buatan Nuning.

“Apa maksud kamu?” tanya Nuning.

Pokiuty, hui kutt polest wiiku,” kuraci itu berbicara lagi dan menunjuk pula ke bahan-bahan bunga itu sambil tangannya bergarak-gerak memperagakan sesuatu.

“Ka... kamu ingin aku membuat bunga seperti ini? Gitu ya?” sepertinya Nuning memahami perkataan kurcaci itu, walau pun ia juga tidak yakin. Kurcaci itu, yang juga tidak memahami ucapan Nuning terus saja berbicara. Ya sudahlah, pikir Nunig dalam hati. Ia memutuskan untuk membuat mawar itu, walau pun ia belum yakin apa sebetulnya maksud ucapan kurcaci itu.

Nuning mulai membuat bunga-bunga mawar merah. Ia menggunting pita, menekuknya menjadi mahkota. Kemudian menjalin rangkaian mahkotanya dengan benang jahit. Kawat pun siap dipelipit untuk jadi tangkai bunganya. Nuning menyatukan mahkota dan tangkai serta daun bunga menjadi setangkai bunga mawar cantik. Dan tak perlu menunggu lama, delapan bunga yang lain menyusul.

“Jadi deh, tapi maaf, hanya ini yang bisa kubuat. Bahannya sudah habis,” Nuning menyorongkan rangkaian bunga mawar di tangannya. Kurcaci meraih dan berbinar menatap mawar merah merekah itu. Dia melompat-lompat kegirangan sambil berteriak-teriak senang dan keluar menuju ruang sang raja.

Wiikusuri toryu... hui!” kurcaci wanita itu menunjukkan bunga mawar pada raja. Raja dan semua kurcaci di ruangan itu terperangah. Raja tersenyum dan turun dari singgasananya dan meraih bunga itu. Tampak kebahagian terpancar di wajahnya yang terlihat bijaksana. Sementara kurcaci yang lain melonjak-lonjak gembira. Banyak kurcaci mengintip ke dalam ruangan raja, dari pintu juga dari jendela. Semua tampak gembira menatap bunga itu. Nuning masih bingung, betapa senangnya mereka pada bunga buatan Nuning. Apa istimewanya? Pikir Nuning.

Kemudian raja memberi perintah lagi sambil keluar menuju halaman, semua kurcaci mengikutinya. Raja mengambil satu tangkai mawar, sementara yang lain diserahkan pada pengawalnya. Kemudian raja menancapkan mawar itu ke tanah, dan disambut sorak sorai seluruh kurcaci. Menyusul para pengawal menancapkan tangkai-tangkai mawar yang lain. Begitu selesai para kurcaci melompat-lompat, menari-nari berputar-putar sambil berpegangan tangan. Nuning terperangah menyaksikan ini. Ia mulai mengerti untuk apa mawar-mawar itu. Ia baru sadar keanehan yang ada di situ, yaitu tak ada warna lain selain warna hijau. Tidak ada bunga-bunga kuning, merah, ungu, atau pun warna lainnya. Bahkan pakaian mereka pun hijau. Dan warna merah mawar palsu itu merekah di antara hijaunya pohon dan rerumputan. Oh! Nuning terharu, air matanya mulai menetes satu per satu., ia merasa sedih karena kurcaci-kurcaci itu tidak mengerti kalau bunga yang mereka tancapkan di tanah adalah bungan buatan. Dan masih banyak bunga lain yang jauh lebih indah dan semerbak, yaitu bunga-bunga yang asli. Nuning tak bisa menahan air matanya melihat wajah suka cita para kurcaci itu. Dan kurcaci wanita tadi melihat Nuning. Ia bertanya dalam bahasanya yang aneh.

“Kalian tidak mengerti, itu bunga palsu, sebentar juga akan rusak dan tidak bisa tumbuh lagi.” Tapi tentu saja kurcaci itu tidak mengerti ucapan Nuning.

“Aku akan pulang, aku akan membawakan kalian bunga yang asli. Tolong antarkan aku pulang, ke rumahku. RUMAH!” Nuning menggoreskan kayu ke tanah, membuat gambar sebuah rumah. Tampaknya kurcaci itu mengerti. Ia mendekati raja. Kemudian raja mendekati Nuning dan mengucapkan sesuatu sambil menyerahkan sebuah pohon mungil yang sangat indah. Belum pernah Nuning melihat pohon seindah itu.

Aliost punokirry, kwui lopuyetio,” ujar Raja pada Nuning.

“Mm... maksudnya makasih ya? Sama-sama,” jawab Nuning memperkirakan perkataan Raja.

“Tapi sebenarnya aku tidak membantu kalian apa pun. Kalau aku pulang nanti kalian boleh membawa bunga asli dari rumahku.” Namun mereka tidak memahami ucapan Nuning. Tiga kurcaci yang tadi membawanya kemari kembali melompat dan menutupkan kain hijau ke kepala Nuning. Dalam sekejap Nuning sudah berada di kamarnya.

Kwui lopuyetio,” ujar salah satu kuracaci itu.

“Eh, tunggu dulu!” kata Nuning sambil menahan agar kurcaci itu tidak pergi. Tampak kurcaci itu heran. Tapi Nuning tidak ambil pusing. Ia berlari ke halaman rumahnya. Diambilnya tiga pot bunga miliknya, mawar, krisan, dan bougenvil yang sejak dulu ia tanam dan dirawat dengan baik. Lalu ia menyerahkan pada ketiga kurcaci itu.

“Tanam dan rawat ini dengan baik. Mereka akan tumbuh dan berbunga di negeri kalian sana.” Wajah kurcaci itu bersinar cerah. Mereka belum pernah melihat tanaman seperti itu.

“Iya, bawa sana. Aku bisa mendapatkan lebih banyak bunga di sini.” Kurcaci itu menatap penuh terima kasih pada Nuning. Nuning tersenyum. Dan setelah berpamitan ketiga kurcaci itu lenyap dari pandangan Nuning. Nuning lega. Ia sudah kembali ke rumah. Ia merebahkan tubuhnya yang penat ke ranjang. Pengalaman hari ini sangat aneh, namun memberi banyak hikmah pada Nuning. Ia bahagia bisa melihat mahluk Tuhan yang lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya dan menolong mereka. Nuning tak pernah lupa kejadian itu. Selain itu ia memiliki sebuah pohon mungil yang sangat indah, yang unik dan tidak dimiliki oleh siapa pun. Setiap kali orang bertanya, “Dari mana kamu mendapat pohon itu?” Nuning hanya menjawab,

“Dari teman baik yang tinggal di tempat yang sangat jauh.” Dan yang paling membahagiakan Nuning adalah ketika sebulan kemudian ia menemukan seikat bunga krisan yang merekah indah tergeletak di meja belajarnya. Tak perlu ditanya, Nuning sudah tahu siapa yang meletakkan di situ.

KUPU-KUPU KUNING TUA

memenangkan lomba cerpen Gelar Ilmiah Islam dan Seminar,
Fakultas Pertanian UGM, tahun 2003


Tiga lembar daun apel hampir habis berlubang, cukup untuk hari ini. Ulat coklat berbulu kuning halus tajam itu menggeliat kekenyangan. Tubuhnya menggelembung gendut. Ia merayap perlahan.


Mak bangkit dari tidurnya. Disampirkan kain panjang menutup kulit kakinya yang keriput. Ia terbatuk sesaat.


“Ti!”


“Ibu sudah berangkat ke pabrik, Nek!”


“Kamu belum berangkat sekolah, Susi?” Susi, gadis kecil berparas manis muncul di pintu, menyibak kain gorden hijau kumal yang menutupinya. Seragam merah putih sudah ia kenakan.


“Ini juga Susi mau berangkat,” Susi memakai sepatunya sembari duduk di ranjang dekat neneknya.


“Sudah dibilang jangan pakai sepatu di dalam rumah. Lantai ini buat sholat, buat jalan orang berwudlu,” Mak menepuk kepala cucu satu-satunya itu.


“Barusan dicuci kok. Nih lihat!” Susi mengangkat kakinya tinggi, menunjukkan sol sepatu yang bersih dari lekatan tanah.


“Susi berangkat ya nek,” dikecupnya tangan Mak, ia pun berlalu. Mak turun dari ranjang, melangkah perlahan menuju sumur belakang.


“Mak Ti! Mo mandi?” suara tetangga sebelahnya sedikit menjerit.


“Ya!” singkat jawab Mak. Tetangganya itu menghampiri. Seakan sudah terbiasa, ia mengambil air panas di dapur dan menuangkan ke ember untuk air mandi Mak. Mak memandang tubuhnya di cermin. Tak lagi muda, bahkan tampak mengerikan. Payudaranya berbelang hitam tak beraturan dan ukurannya tidak normal untuk wanita seusianya. Mak mengusap dadanya perlahan.


“Akarnya mungkin sudah sampai ubun-ubunku,” bisik Mak sembari mengurai rambut panjangnya yang tipis putih keabuan. Beberapa helai tersangkut di tangannya dan luruh ke lantai.


“Aku hendak mati.”

---


“Mak, Mak tak perlu lagi masak. Biar Asti minta sama Kak Nah masakan untuk Mak dan Susi setiap hari. Mak istirahat saja,” Asti menata nasi dan lauk pindang sayur asam buatan Mak di atas meja. Sesaat suara Susi yang tengah mengaji iqro’ 5 terhenti.


“Aku masih bisa masak. Tak perlu minta bantu tetangga. Kalau aku tak sanggup tak ada makanan terhidang di meja seperti sekarang. Ayo Susi, ulang yang ini.”


“Dzaamaaliw wabaniina.”


“Hmm.”


“Ayyatuuba ‘alaihim.”


“Hmm.”


“Tapi Mak, fisik Mak lemah. Mak harus banyak istirahat. Mak sudah minum obatnya siang ini?” Asti meraih bungkus obat dan memeriksa jumlahnya.


“Aku masih kuat, kau yang anggap aku lemah.” Asti diam saja, tak ada gunanya membantah Mak.


“Mak, Asti berangkat ya. Jangan lupa minum obatnya nanti malam,” Asti mengecup tangan Mak.


“Ibu berangkat, Susi. Jaga nenek ya,” Asti mencium kening anaknya yang terbungkus kerudung tipis seadanya.


“Pintunya jangan diselot, kuncinya dicabut, biar nanti malam...”


“Ya ya, aku sudah tahu. Aku belum pikun!”


Ulat itu terdiam pada sebuah ranting. Ia ikatnya seutas benang pada tubuhnya. Dibiarkan tubuhnya menggantung tertempel. Lalu ia mulai memintal selongsong kehijauan sedikit demi sedikit.


Asti berdiri di tepian jalan yang gelap, ia sudah terbiasa berdiri di situ. Sebuah audi hitam berhenti. Pintunya terbuka. Asti masuk tanpa ragu.


“Sudah lama menunggu, manis?” pria tua 50-an memeluknya mesra.


“Lumayan,” Asti menanggapi dingin.


“Kenapa kamu malam ini? kok nggak kayak biasanya? Ayo, bilang saja sama Oom Sabdo!” Oom Sabdo mengusap rambut panjang Asti. Ia adalah pelanggan tetap Asti selama hampir 3 tahun ini, seorang manajer perusahaan jasa. Tubuhnya tidak menampakkan ciri-ciri orang kaya pada umumnya. Ia bertubuh kurus, pendek, dengan kulit hitam dan rambut separuh botak, serta kacamata mungil. Tak sebanding dengan Asti yang tinggi semampai, cantik, berkulit langsat, dan berambut hitam berombak. Tapi Oom Sabdo memiliki materi yang Asti butuhkan. Kecantikan Asti itulah yang mengantarkannya pada pelanggan sekelas Oom Sabdo. Awalnya Asti menjadi PSK liar. Ketika itulah ia mendapat Susi, anak yang tak jelas siapa ayahnya. Anak hasil hubungannya dengan salah satu pelanggan 9 tahun silam. Walau begitu Asti sangat menyayanginya. Setelah melahirkan Susi, ia kembali ke jalan. Hingga Asti bertemu Oom Sabdo.


Mereka tiba di hotel. Asti tetap bergelayut pada gundahnya,


“Oom, saya butuh banyak uang.”


“Untuk apa? Ada masalah apa lagi? Anakmu? Atau ibumu?”


“Ibu saya harus diterapi dan dioperasi. Tapi Oom tahu seberapa kemampuan saya. Belum lagi biaya untuk Susi yang makin lama makin tinggi.”


“Mm, let me think!” Oom Sabdo terdiam sesaat. Walau bagaimana pun Oom Sabdo sangat baik padanya. Sudah terlalu sering ia membantu Asti. Asti hampir seperti istri simpanan, bedanya ia dibayar tiap malam pertemuan mereka dengan tarif tetap. Oom Sabdo tak akan memberikan kekayaannya seperti bagi seorang istri simpanan, itu yang Asti rasakan.


“Mungkin 3 hari lagi kamu bisa mendapat uang yang kamu butuhkan, tapi ada syaratnya. Kamu mau?”


“Apa syaratnya?”


“Hmm, begini. Aku akan punya rencana mengajak 2 temanku kemari, kami akan pesta sampagne. Dan kamu buat kita bertiga senang. Aku akan membayarmu 20 kali lipat, begitu juga 2 temanku, asal kamu mau memberikan service special untuk kami. Dengan begitu kamu bisa dapat beberapa puluh juta dan kamu bisa pakai untuk pengobatan ibumu dan biaya sekolah anakmu. Bagaimana?” Asti termenung.


“Ayolah Asti, tidak ada yang bisa didapat dengan gratis kan?” ujar Oom Sabdo sambil melangkah ke kamar mandi. Asti mengusap dadanya perlahan.


Selongsong kepompong pupa itu mulai menguning. Bercak-bercak hitam pada warna hijaunya kini berganti semburat tipis di beberapa sisi. Pupa hanya berdiam diri. Menghancurkan sel-sel larva dan menumbuhkan sel-sel baru untuk bentuk dewasanya.


“Mak masak lagi?”


“Kasihan Susi, mau makan apa dia kalau tidak ada yang masak?”


“Mak kan bisa suruh Kak Nah. Nanti biar Asti yang bayar belakangan.”


“Kalau aku masih bisa kenapa pake suruh orang lain?” Asti beranjak ke kamar anaknya. Ia benahi ranjang yang berantakan dan memeriksa buku-buku pelajaran Susi. Sesaat Asti menatap tubuhnya di cermin.


“Besok Asti mau bilang sama Kak Nah buat masak. Malam ini Asti mau dapat uang banyak, Mak.” Tak ada sahutan dari Mak. Asti menyibak tirai pintu kamar Susi. Dilihatnya Mak duduk termangu di kursi kayu yang terletak di pojok dapur.


“Mak, Mak dengar omongan Asti?” Asti bersimpuh dan merengkuh tangan Mak.


“Aku lebih senang kalau kamu yang masak.”


“Tapi Asti nggak akan sempat. Mak juga tahu itu.”


“Kalau begitu kamu tak perlu pergi malam. Cukup kamu jadi buruh pabrik saja, yang malam tak usah lagi.”


“Tapi Mak, justru Asti bisa dapat uang banyak dari kerja malam, Mak.”


"Mak tak perlu duit banyak, biar sedikit asal halal.”


“Mak percayalah sama Asti, malam ini Asti akan dapat uang banyak. Cukup untuk biaya terapi dan operasi Mak, juga untuk biaya sekolah Susi.”


“Mak tak perlu diterapi, Mak tak mau diterapi. Rasanya sakit, sakit sekali. Toh sebentar lagi Mak mati, akarnya sudah menjalar ke mana-mana, sudah terlambat. Lebih baik Mak mati.”


“Mak jangan bicara begitu, Asti tak mau Mak mati. Asti cinta sama Mak, kalau pun Mak harus mati, Asti tak ingin tak melakukan apa pun untuk Mak,” kali ini air mata Asti mulai menetes.


“Mak takut sehatnya Mak tak barokah.”


“Asti tahu Asti pelacur, Mak. Kalau dosa, kalau tak barokah, Asti minta sama Tuhan untuk melimpahkan itu semua pada Asti, bukan pada Mak, apalagi Susi. Asti lakukan ini semua untuk Mak dan Susi.”


“Mak tak butuh uang banyak. Lebih baik bagi Mak kalau kita miskin.” Kali ini Asti terisak.


“Mak, maafkan Asti, Mak. Tapi... Asti juga sakit, sama seperti Mak. Di sini,” Asti menyentuhkan tangan Mak ke dadanya. Rahasia yang ia simpan selama ini terkuak sudah. Hidung Mak kembang kempis, matanya berkedip-kedip menahan air mata. Ia memeluk Asti tanpa suara.


“Kata orang itu penyakit turunan. Dan Asti sudah siap sedari dulu kalau suatu saat Asti harus menanggung ini.”


“Maafkan Mak, Asti. Maafkan Mak. Gara-gara Mak kau sakit seperti ini,” hatinya bagai teriris sembilu. Rasanya sakit, lebih sakit dari derita yang dirasakan sekujur tubuhnya yang digerogoti kanker.


“Mak tak salah. Karna itu Asti ingin melakukan segalanya demi kesembuhan Mak. Ini juga untuk Susi, Mak. Biaya sekolah Susi makin tinggi makin hari. Tiap cawu ia harus beli buku baru, belum lagi ongkos angkutan yang naik terus terusan. Buku, pensil, tas, sepatu, semuanya Mak, semuanya butuh biaya. Dan Asti mencari uang sebanyak-banyaknya untuk biaya sekolah Susi. Susi tak boleh bodoh dan gagal seperti Asti. Dia harus jadi orang pintar, orang sukses, orang kaya. Biar kalau Susi sudah besar, dan Asti sudah setua Mak, Susi tak perlu jadi seperti Asti untuk mencari biaya pengobatan ibunya.” Mak semakin hanyut dalam tangisnya.


“Karna itu Mak, tolong maafkan Asti. Dan tolong bantu Asti mendidik Susi. Perkembangan jiwa Susi sangat bergantung pada didikan Mak. Mak mau?”


“Mak akan didik dia jadi wanita solehah.” Asti luruh ke telapak kaki Mak, ia menangis pilu.


Sayap, tungkai, dan mulut dewasanya terbentuk sempurna. Selongsong kepompong yang mulai mengering terbuka perlahan oleh dorongan kepalanya. Serangga itu merayap keluar dari kepompong. Sayapnya yang kuning tua masih lemah mengatup bersabar. Ia bertengger tak jauh dari kepompong kosong yang ia tinggalkan.


Asti luruh di ranjang. Ia mengusap keningnya yang berpeluh. Di luar terdengar suara 3 pria bercengkrama. Mereka tengah menikmati pesta yang baru akan usai setelah ketiganya tertidur mabuk. Asti menatap langit-langit putih kamar hotel. Bayangan Susi terukir di situ.


“Susi, Susi harus belajar yang bener ya, biar kalau sudah besar Susi jadi orang sukses, orang pintar, orang kaya...”


“Jadi anak soleh!”


“Iya, jadi anak soleh juga. Jangan seperti Ibu ya nak?” Susi hanya mengangguk, entah ia mengerti atau tidak.


“Nanti kalau Susi sudah besar Susi mau jadi apa?”


“Mau jadi dokter.”


“Oh ya? Dokter? Kenapa?”


”Soalnya pintar, uangnya buanyak, rumahnya buesar.”


“Trus nanti kalau Ibu sakit Susi mau ngobatin nggak?”


“Mau. Nanti Susi ngobatin Ibu biar nggak sakit.”


“Ngobatin nenek juga nggak?”


“Iya, nanti Susi ngobatin Nenek biar sembuh, sama ngobatin Ibu.”


“Ibu disuntik dong?”


“Iya, Ibu disuntik di sini, juuss!” Susi menekan telunjuknya ke pantatnya sendiri. Mereka tergelak berdua. Asti memeluk Susi mesra.


“Ia akan mengobatiku dengan kasihnya.”


Kupu-kupu kuning tua mulai mengembangkan sayapnya. Ia terbang melaju, meninggalkan kepompong kering yang kosong. Warnanya yang indah memantulkan sinar, bersatu dengan warna-warni bunga. Kupu-kupu kuning tua terbang tinggi.

MASKER

diterbitkan dalam antologi cerpen pendek Yayasan Multi media Sastra, bejudul Graffiti Imaji

“Kamu memang berencana mencuri, kan?” polisi Surip mendesak Jupri yang sedari tadi lebih banyak diam. Jupri mengangguk perlahan.

“Iya Pak, saya memang sudah lama mengincar rumah itu.”

“Tapi kamu nggak tau kalau ada orang di rumah itu?”

“Nggak tau pak, saya kira rumah itu kosong, saya kira orangnya sudah pergi semua.”

“Gimana kok kamu bisa ngira rumah itu kosong?”

“Saya selidiki dulu Pak.” Dahi polisi Surip berkerut merut,

“Nyelidiki gimana?”

“Ehm...,” Jupri terdiam agak lama.

“Pertama saya liatin mahasiswi yang ngontrak di situ sudah pada keluar semua. Trus saya coba nelpon berulangkali nggak ada yang ngangkat. Habis itu saya ketuk-ketuk pintunya, belnya juga saya pencet nggak ada yang buka pintu. Akhirnya ya saya yakin kalau rumah itu kosong. Trus saya masuk aja lewat jendela.”

“Dan akhirnya kamu kepergok sama Surti?” tanya polisi Surip lagi.

“Iya Pak. Waktu saya masuk ya saya kaget ngeliat... hmph...,” Jupri menahan tawanya. Bias ketakutan yang semula merona di wajah sirna seketika. Polisi Surip pun mengulum senyum, tanpa diceritakan Jupri ia sudah tahu kelanjutan ceritanya. Informasi yang didapat sebelumnya dari Surti, pembantu di rumah kontrakan mahasiswi itu, melengkapi jalan cerita yang terangkai dalam benak polisi Surip.

“Iya Mas Polisi, gimana nggak kaget!? Memang saya tau telepon beberapa kali berdering, pintu juga diketu-ketuk orang. Tapi saya biarkan saja. Saya kan nggak mau masker di wajah saya rusak. Lha wong kalo pake masker kan nggak boleh ngomong, nggak boleh gerakin wajah. Kalo saya jawab telepon kan nanti masker saya pecah. Lagian saya pikir telepon sama tamu yang datang pasti nyari mbak-mbak yang tinggal di situ, nggak mungkin nyari saya. Kalo saya jawab kan percuma saja, saya biarin. Tapi pas saya dengar klotak klotek dari ruang tamu, saya penasaran. Ya... saya ke ruang tamu. E... di ruang tamu sudah ada cowok itu celingak celinguk. Pas dia ketemu saya dia teriak, saya juga teriak, lha wong sama-sama kaget kok! Wah... masker saya langsung pecah, mbrodholi, jatuhan ke lantai,” cerita Surti berapi-api. Polisi Surip tersenyum menahan tawa.

“Apa nggak boleh saya pake masker Mas? Saya kan juga pingin cantik kayak mbak-mbak itu!!” lanjut Surti merasa jengah melihat senyum polisi di depannya. Polisi Surip masih tersenyum, ia menggeleng perlahan dan bergumam pada dirinya sendiri,

“Tuan rumah yang lugu, maling yang bodoh...!”

WULAN DAN TVNYA

menjadi salah satu pemenang dalam lomba cerpen yg diadakan
yayasan PLAN, Surabaya - Indonesia, tahun 2004


Orang sebaik itu pasti tidak nakal,” ujar Putri menjawab pertanyaan Lily. Cinta tampak terpukul mendengar Putri memuji Rangga seperti itu. Sepertinya Putri sengaja berkata seperti itu untuk menyakiti hati Cinta. Wulan juga sebal. Huh! Sebal sekali. Dia memukul bantal di pangkuannya.

“Ehem ehem,” tring! Dharu memetik gitar kecilnya.

“Ceritane sinetron Indonesia, wagu-wagu ora ono sing mutu, temane isone mung niru, luwih apik ayo ditinggal turu…,” sengaja suaranya ia keraskan sambil duduk di kursi dekat pintu, berharap Wulan, yang sedang menikmati TVnya, bisa mendengar suaranya.

“Sineas ora ono sing cerdas, senengane nggawe adegan panas...”

“Mas Dharu, diam!” benar, kontan Wulan bangkit dari duduknya dan memburu Dharu berapi-api.

“Ibu, Mas Dharu nakal!”

“Orang sebaik Dharu pasti nggak nakal,” Dharu menirukan dialog di sinetron barusan.

“Ibuuu...!”

“Dharu,” suara Ibu terdengar dari dalam. Dharu langsung ngibrit sambil tertawa.

Akhir-akhir ini Dharu memang sering menggoda adiknya. Pasalnya, sejak ada TV 14” di rumah mereka Wulan hampir tidak pernah beranjak dari situ. Bapak membeli TV itu sebulan yang lalu. Walau pun hanya TV bekas tapi kondisinya masih bagus. Dan Wulan adalah orang yang paling berbahagia dengan kehadiran anggota baru itu di rumah mereka. Dia menyukai semua acara dan bintang-bintangnya. Mulai dari sinetron, musik, reality show, bahkan iklannya. Wulan sangat mengagumi mereka, hingga pada ambang batas yang paling ditakuti Dharu: Wulan ingin seperti mereka.

“Iiih...,” Wulan gemas pada dirinya sendiri. Ia mematut di depan cermin, bergaya layaknya bintang. Berlenggak-lenggok, menyibak rambut pendeknya yang merah dan kering, membedaki wajahnya yang hitam dan kotor, membayangkan dirinya seperti para artis: cantik, putih, mulus, berbakat, terkenal, kaya, dan bahagia.

“Mas, aku item ya? Mas, aku terlalu kurus ya? Kulitku kering eee. Rambutku kaku banget,” dan keluhan-keluhan lain yang akhir-akhir ini makin sering Wulan lontarkan. Tapi lama kelamaan Dharu semakin kesal menghadapinya.

“Maklumlah Ru, adikmu mulai remaja,” ujar Ibu ketika Dharu bercerita perihal adiknya. Akhirnya Wulan tak pernah lagi mengeluh pada Dharu. Dia lebih suka bercerita pada teman-teman putrinya sesama pengamen di pinggir jalan.

“Aku pingin coba itu lho, pemutih yang di TV itu,” ujar Wulan.

“Mahal, paling harganya puluhan ribu,” jawab temannya.

“Kemarin aku liat di toko, harganya 20-an.”

“Lha iya makanya, eman kan?”

“Tapi nggak pa-pa. Kalo tiap hari panas-panasan gini kan kulit perlu dilindungi. Biar nggak terbakar sinar matahari,” Wulan semakin pandai menirukan iklan. Sesaat kemudian lampu hijau berganti merah. Teman-teman Wulan kembali turun ke jalan, menggoyangkan krincingan tutup botol mereka. Tapi Wulan tak bergerak, ia duduk merenung di tepi jalan. Otaknya sibuk menghitung angka-angka. Tiap hari penghasilannya sekitar 20.000 – 40.000. Kalau sedang mujur bisa sampai 60.000. Untuk makan di jalan 5.000, untuk Ibu paling tidak 20.000. Kalau begitu ia bisa mengumpulkan uang sebesar 25.000 dalam waktu 3 sampai 5 hari. Yap! Wulan mantap. Hatinya bersikeras.

“Aku pasti bisa.”

Benar saja, empat hari kemudian Wulan sudah membawa uang 24.850 di sakunya. Setelah yakin kakaknya tidak melihat, wulan masuk ke sebuah toko dan menunjuk sebuah produk pemutih pada pelayan. Segera disembunyikan benda itu di balik bajunya dan melenggang seperti tidak ada apa-apa. Kalau kakaknya tahu pasti Wulan akan ditertawakan dan diolok habis-habisan.

Sesampainya di rumah Wulan mendekati Ibu dan Bapaknya yang sedang berbincang serius. Ia tak ingin mengganggu, ia hanya ingin menyapa TVnya yang seharian ini ia tinggalkan. Wulan meraih remote TV dan menekan powernya.

“Lan,” tiba-tiba Bapak memanggilnya. Wulan menoleh tanpa beranjak.

“Kalau besok nggak nonton TV lagi gimana?” Wulan tak mengerti dengan pertanyaan Bapak. Ia diam saja.

“Lik Mardi butuh uang untuk Bambang. Bambang kan sakit, kamu tahu to?” Wulan masih tak menjawab. Ia tahu saudara sepupunya itu tengah sakit.

“Makanya TVnya mau Bapak jual, buat biaya pengobatan Bambang.”

“Wah, jangan, Pak. Eman,” jawab Wulan singkat.

“Nggak pa-pa Pak, jual aja,” Dharu menyahut.

“Jangan. TV baru sebulan kok masa mau dijual lagi.”

“Kamu harus ngalah, Lan. Bambang kan sedang sakit,” kali ini Ibu yang bicara.

“Cari utangan aja. Pokoknya jangan dijual TVnya. Aku nggak mau dengerin radio thok. Bosen!” Bapak dan Ibu tak bisa membantah. Hanya Dharu yang melanjutkan perdebatan mereka berdua, hingga Wulan berteriak-teriak kesal seperti biasanya.

Malam itu di dalam kamarnya Wulan kembali berkaca. Diraihnya pemutih yang baru saja ia beli, membuka bungkusnya dan membaca petunjuknya dengan seksama. Ia oleskan krim pemutih itu di wajahnya. Dan segera ia sembunyikan krim pemutih itu di bawah tumpukan baju. Kulitnya terasa lengket dan kaku, sangat tidak nyaman.

“Tapi tidak apa, lama kelamaan aku juga akan terbiasa,” pikir Wulan. Ia berbaring di kasur, menjaga agar wajahnya tidak banyak bergerak. Ia khawatir kalau khasiatnya akan tidak maksimal bila ia terlalu banyak menggerakkan wajah. Ia juga menjaga agar tidurnya tetap terlentang. Sayang kalau krim pemutih yang sudah ia oleskan menggores di bantal. Tapi ia tak terbiasa tidur dengan posisi terlentang begitu. Biasanya sepanjang malam Wulan membebaskan tidurnya berputar-putar 360 derajat. Tentu saja tidurnya jadi tidak nyenyak malam itu.

Ketika esok paginya Wulan terbangun, ia merasakan kulitnya gatal dan panas.

“Pemutihnya sudah mulai bekerja, seperti yang tertulis di brosur,” Wulan menghibur dirinya sendiri. Sebelum berangkat ngamen diam-diam wulan mengoleskan kembali krim itu dan mengembalikan di tempat persembunyiannya.

Siangnya matahari panas membakar. Wajah Wulan juga semakin panas dan mulai tampak kemerahan. Teman-temannya heran melihat wajah Wulan yang tidak seperti biasanya.

“Aku sudah pake pemutih itu,” Wulan berbisik pada mereka.

“O ya?” spontan teman-teman putrinya mendekat ke Wulan, ingin tahu bagaimana rasanya. Wulan tampak bangga bercerita pada mereka, walau pun dalam hati ia tersiksa dengan wajahnya yang kepanasan.

Hingga keesokan hari wajah Wulan tak juga pulih, justru terasa semakin panas dan gatal. Kulitnya mulai melepuh di beberapa tempat.

“Kok tambah parah ya?”

“Coba kasih lidah buaya. Ibuku biasanya kalau luka bakar pake lidah buaya.” Layak dicoba, pikir Wulan. Tapi tak ada tanaman lidah buaya di rumahnya.

“Dirumahku kan ada. Nanti pas pulang kamu mampir aja,” salah satu temannya memberi jalan keluar.

Sesuai janji Wulan mampir ke rumah temannya untuk mengambil sedikit lidah buaya. Sambil masuk dari dapur rumah ia menyembunyikan lidah buaya itu di balik tubuhnya.

“Apa itu, Lan?” tiba-tiba Ibu sudah ada di belakang Wulan.

“Mmm...,” Wulan ragu-ragu.

“Lidah buaya,” ia mengacungkan lidah buaya di depan dadanya, dengan memasang tampang grogi.

“Untuk apa?” Wulan tidak tahu mesti menjawab apa. Ia berharap Ibunya hanya bertanya sambil lalu dan beranjak pergi, tapi ternyata perkiraannya salah. Ibu hanya diam menunggu Wulan menjawab. Wulan kebingungan. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan lidah buaya itu.

“Buat rambut?” tanya Ibu lagi.

“Em, iya,” Wulan tak punya pilihan lain. Ia takut kalau menjawab jujur maka pertanyaan Ibunya akan berlanjut hingga ia tak bisa lagi menyembunyikan rahasia krim pemutihnya.

“Seharusnya bukan pake lidah buaya. Rambutmu sudah banyak, tapi kering. Seharusnya kamu pake santan,” jawab Ibu sambil beranjak ke dapur. Fuf! Wulan lega. Ibu sama sekali tak menyangka ada perubahan di wajahnya yang memerah. Wulan segera melompat masuk ke kamarnya. Perlahan ia oleskan lendir lidah buaya di wajahnya. Agak perih! Tapi Wulan berusaha menahan. Yang penting sembuh, pikirnya. Dan Wulan kembali terlelap dalam tidurnya yang sudah kehilangan rasa nyenyak sejak dua hari yang lalu.

Paginya Wulan melihat wajahnya di cermin. Rasa panas dan gatal itu tidak juga hilang, malah bertambah perih. Tapi Wulan diam saja. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai terlihat melepuh. Ia tak mau Ibu, Bapak dan kakaknya melihat wajahnya itu.

Tapi di jalan rasa perihnya tak tertahankan. Matahari yang menyengat menambah panjang daftar siksaan Wulan. Dan teman-temannya memandang kasihan padanya.

“Lan, coba kasih timun.”

“Ah, emoh! Nanti malah tambah parah.”

“Nggak. Kan timun dingin. Jadi biar dingin dulu mukamu, nanti juga sembuh.”

“Masa sih?”

“Coba aja.”

“Halah, mukaku dicoba-coba.”

“Lha kamu juga sudah nekat coba-coba pemutih macem-macem.” Wulan diam saja, ia agak malu. Tapi semua sudah kepalang.

“Timunnya diparut, airnya diperas, trus airnya itu pake di mukamu.” Wulan tak punya pilihan. Wajahnya sudah hancur lebur, dan ia tak bisa menghindar kecuali menyembuhkan wajahnya agar kembali seperti semula.

“Bu, punya timun nggak?” tanya Wulan di rumah. Ia berlindung pada cahaya dapur yang remang-remang untuk menutupi wajahnya.

“Untuk apa?” Wulan memutar otaknya, tapi ia tetap tak menemukan jawaban. Ibu memberikan sebuah timun muda pada Wulan tanpa memaksa anaknya itu menjawab. Ibu tidak bertanya-tanya lagi. Tapi diam-diam Ibu memperhatikan Wulan. Wulan memarut timun itu kemudian memerasnya ke dalam sebuah mangkuk, lalu meninggalkan Ibu tanpa bercerita apa-apa. Di dalam kamarnya yang penuh rahasia Wulan mengoleskan air mentimun ke wajahnya. Dan sekali lagi berharap terjadi keajaiban.

Ketika terbangun, hal pertama yang dilakukan Wulan adalah memandang wajahnya di cermin. Rasanya ia ingin berteriak. Berteriak karena terkejut juga karena kesal. Tak ada perubahan di wajahnya selain rasa gatal yang semakin menjadi-jadi. Wajah Wulan tampak bengkak dan iritasi di beberapa tempat. Ia ingin menangis.

“Ibuu...,” Wulan menyerah. Ia sudah kehabisan akal dan kesabaran. Ibu mendengar terikan Wulan dan masuk ke kamarnya.

“Bu, mukaku...” hanya itu yang sanggup diucapkan Wulan sebelum ia mulai menangis. Ibu mendongakkan wajah Wulan. Keningnya berkerut, jemarinya mengusap wajah Wulan. Tapi ia tak berkata apa-apa.

“Nggak pa-pa. Mandi dulu sana! Bersihkan mukamu! Nanti juga sembuh,” hanya itu jawaban Ibu kemudian meninggalkan Wulan sendiri di kamarnya. Dharu yang tidak pernah menyia-nyiakan momen apa pun di rumah segera mengintip ke kamar Wulan untuk sedetik kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

“Dientup tawon ya?” Tangis Wulan semakin keras.

“Dharu!” suara Ibu lagi-lagi menyelamatkan Wulan dari kejahilan Dharu.

Wulan duduk diam di depan TV. Hari itu ia tidak bisa pergi, Ibu menyuruhnya tinggal di rumah agar wajahnya tidak kotor terkena matahari dan debu jalanan. Ia menatap TV dengan rasa enggan. Kemudian muncul iklan produk pemutih dengan artisnya yang putih dan beruntung menurut Wulan. Huh! Wulan mengganti channelnya. Tapi yang ia temukan kemudian adalah gosip artis lengkap dengan dandanan menor mereka yang membuat mereka tampak cantik. Wulan semakin gondok. Tak lama Ibu menghampiri.

“Ini, diolesin sehabis mandi,” Ibu menyerahkan sebuah salep dalam kemasan tube kecil.

“Tadi Ibu ke puskesmas minta obat. Kata pak mantri obat itu bisa.” Wulan diam saja menatap obat itu di tangannya. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain kembali berspekulasi dengan wajahnya. Tapi Wulan tak menolak. Ia mengoleskan obat itu di wajahnya dan berharap kali ini terjadi mukjizat.

Wulan melangkahkan kakinya ke jalan ketika lampu berganti merah. Wulan tidak menghiraukan sinar matahari yang menyengat dan udara yang kotor di sekitarnya. Wajahnya sudah sembuh walau pun tidak berubah menjadi putih dan mulus. Tapi Wulan tak lagi peduli, ia lebih merasa nyaman dengan wajahnya yang hitam dan kotor daripada terobsesi dengan krim pemutih yang menyiksanya selama lima hari. Krim pemutih itu sengaja tidak ia buang, ia memajangnya di atas meja kamar.

“Kenang-kenangan,” pikir Wulan.

“Lagian eman, harganya mahal.” Wulan juga merelakan Bapak menjual TVnya. Itu lebih baik bagi Wulan. Ia menaiki sebuah bis kota yang sedang berhenti.

“Permisi pak bu,” cring cring! Digoyangkan krincingan tutup botolnya dan ia bersiap bernyanyi,

“Ceritane sinetron Indonesia, wagu-wagu ora ono sing mutu...”

Selasa, 18 Desember 2007

PHOTOKLEPTO

diterbitkan di Annida no. 9, tahunnya lupa :)


Lipatan kertas di tanganku semakin lusuh menyerap keringat. Hampir aku bosan menunggu, apalagi ruang redaksi yang pengap nan berantakan ini semakin membuatku gerah. Tak berselang lama seorang pria bergegas mendekatiku,

“Anda mencari saya?” tanyanya acuh tak acuh.

“Sorry anda menunggu lama. Sebenarnya saya masih harus menyelesaikan satu berita lagi, tapi… its OK, silakan, to the point saja!” pria itu membenahi posisi duduknya, lalu terdiam menantiku bersuara. Kutatap wajahnya lekat, kubuka lembaran kertas di tanganku. Pandanganku beralih dari gambar seorang pria di potongan tabloid itu ke pria di depanku.

“Apa ini anda?” tanyaku ragu seraya menyodorkan potongan tabloid itu, diraihnya kertas dari tanganku.

“Hm…, ya, benar. Lalu?” tanyanya lagi.

“Jadi benar anda Renauld Pangemanan, wartawan foto?”

“Ya… ya… benar, itu saya. Tolong cepat sedikit!” ujarnya tergesa. Aku kembali terdiam. Tanganku merogoh saku dalam jaketku dan mengeluarkan sebuah majalah dari situ. Kubuka satu halamannya, lagi-lagi kusodorkan majalah itu.

“Itu karya anda, itu hak anda. Saya tak pantas menerimanya. Jadi sekarang saya kembalikan milik anda itu, yah… sekaligus sebagai pengakuan dosa dan permintaan maaf,” hanya itu yang mampu kuucapkan. Renauld Pangemanan, fotografer salah satu tabloid politik terkemuka itu mengernyitkan dahinya. Lamat bola matanya bergerak menyusuri kalimat-kalimat majalah di hadapannya. ‘Juara pertama lomba foto “Indonesia Bersejarah”, Dharu Suwandono. Judul foto “Euforia”.’ Senilai nominal jutaan rupiah tertera di bawahnya.

* * * *

“Ru…, Dharu…, lo menang Ru!” suara cempreng Mang Eang mengalihkanku dari monitor komputer. Dari jauh tampak Mang Eang berlari ke arahku sembari mengacungkan sebuah majalah di tangannya. Sesaat kemudian ia sudah menongolkan kepalanya dari jendela,

“Lo menang, hh…hh…hh…, congratulation, kaya mendadak lo!” dengan napas terengah Mang Eang menyorongkan majalah yang ia bawa ke mukaku. Kurebut majalah itu. Terpana aku demi menatap sebuah foto yang terpampang di situ.

“Wow… cihuy!!! Aku menang Mang, aku menang!!” layaknya seorang bocah cilik aku jejingkrakan lompat dari kursiku, suara teriakanku mampu meredam gedubrak kursi yang terjatuh.

“Wah, nggak nyangka nih,” ujarku lagi masih tak percaya.

“Apa juga gue bilang, foto itu emang bagus. Lo sih nggak percaya,” kelakar Mang Eang menanggapi binar mata bahagiaku.

“Gede juga hadiahnya, Ru. Bisa pesta deh lo. Eh, tapi jangan lupain gue ya, kan gue yang ngerekomendasiin tuh foto buat lo ikutin lomba.”

“Iya lah, tenang Mang, aku nggak bakalan lupa kok,” sahutku sok sombong.

“Ya udah deh, gue balik dulu, nggak ada yang nungguin tuh kios, entar kecolongan lagi. Ya, gue balik. Eh, jangan lupa traktirannya,” ujarnya seraya pergi.

“Iya, iya, tenang aja, ditanggung deh!”

“Eh Ru…,” Mang Eang kembali nongol ke jendela,

“Selamat ya. Beruntung lo Ru, nggak ikutan ngejepret, dapat duit, dapat nama, dapat hadiah lagi. Syukurin tuh!” aku terhenyak, kalimat itu begitu menusuk nuraniku. Aku hanya tersenyum kecut pada Mang Eang, dalam waktu singkat girangku melayang tersaput kalimat Mang Eang barusan. Aku tergugu di atas kursi, ya… aku baru sadar, ini bukan fotoku, ini bukan milikku, ini bukan karyaku, ini milik orang lain, ini… otakku berputar, mengembalikan memoriku tiga tahun silam…

* * * *

“Mang Eang, Mang punya duit?” tanyaku pelan pada Mang Eang.

“Duit? Mana ada, gue aja lagi nyari pinjaman sana sini. Kenapa? Lo lagi butuh duit?” sabar Mang Eang berujar. Mang Eang memang orang yang sangat baik, ringan tangan. Dari penghasilannya membuka kios majalah ia tak pernah ragu untuk menolong orang lain selama ia mampu. Sesungguhnya aku malu kalau lagi-lagi harus meminjam uang pada Mang Eang, tapi aku tak punya cara lain. Perlahan aku mengangguk.

“Sorry ya Ru, gue juga lagi tongpes. Coba lo tanya sama si Bahrur ato Tejo, kali aja mereka punya.” Aku enggan menanggapi usul Mang Eang, aku tau betul siapa itu Bahrur, apalagi Tejo. Rentenir kacangan yang sok berlagak garang pada orang lain yang tetap memohon belas kasihan mereka untuk memberikan hutangan walau sudah tau resiko riba yang bakal mereka tanggung.

“Lo sama sekali nggak punya?” tanyanya lagi.

“Sumpah Mang, aku nggak punya sepeser pun, buat makan hari ini aja aku nggak tau harus nyari ke mana,” jawabku pasrah.

“Yah..., elo, lo kan mantan mahasiswa, masa nggak bisa nyari kerja apaan kek! Buka usaha kecil-kecilan, jadi lo nggak nyari-nyari utangan lagi.”

“Siapa yang nggak usaha Mang. Aku udah nyari kerjaan ke mana-mana. Tapi Mang tau sendiri lah, kayak gimana nyari kerjaan di Jakarta. Bukan cuma nggak gampang lagi, tapi udah langka. Lagian siapa yang mau nerima lulusan SMA kayak aku. Kuliah sih kuliah, cuman berapa semester kan?”

“Iya, gue tau. Tapi kan paling nggak tuh lo udah dapat ilmu apaan kek dari kampus, lo juga nggak bego-bego amat kan?” sahutnya lagi. Aku hanya terdiam.

“Lo buka usaha aja. Kecil-kecilan…,”

“Ya, aku sih sudah punya niat pengen punya komputer, trus nanti aku terima pengetikan buat anak-anak sekolah atau mahasiswa. Walau pun cuma satu komputer cukup lah…”

“Nah itu lo punya ide, wujudin aja!”

“Yah… Mang Eang, Mang kan tau berapa harga komputer. Buat makan aja kudu ngutang dulu, apalagi buat beli seperangkat komputer. Lagian Mang, Mang tau lah berapa harga dolar sekarang, lagi gila-gilaan gini. Mana rusuh lagi, banyak demo, penjarahan sana sini, dari mana aku dapat modal Mang! Apa kudu ngutang juga sama si Bahrur?” Ganti Mang Eang yang terdiam. Kupikir ia bisa mengerti jalan pikiranku.

“Lo ikutan ngejarah aja!’ ujarnya spontan, namun sesaat kemudian ia terkekeh.

“Becanda Ru, gue becanda,” aku hanya tersenyum getir. Yah, Walau bagaimana pun aku hanya aku, Mang Eang hanya Mang Eang, kami cuma orang-orang pinggir di tengah kota besar ini, tak lebih! Sesaat kami sama-sama terdiam, mencerna omongan masing-masing.

“Ya udah deh, sekarang lo ikut makan di rumah gue, tapi buat hari ini aja. Besok lo kudu nyari duit sendiri. Emang gue Emakmu yang ngasih makan?” ujar Mang Eang. Aku hanya sanggup mengucapkan terima kasih. Entah ini sudah yang keberapakali Mang Eang menolongku, mungkin sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Sesaat kalimat Mang Eang barusan mengingatkanku pada ibu di rumah. Hh, aku sudah lama tak mengirim kabar padanya, Jawa Timur menjadi sangat jauh di mata dan hatiku. Seperti sudah terlupa pada kampung halaman, sudah hampir setahun sejak aku putus kuliah aku tak pulang. Aku malu pada ibu bila ibu tau anaknya tak lagi kuliah. Lagipula beban ibu sudah berat, tak perlu lagi aku menambah bobotnya. Biarlah semua ini kutanggung sendiri walau harus jungkir balik melalui sejarah kehidupanku.

Di dalam kamar sempitku aku termenung teringat kata Mang Eang. Jarah? Apa aku memang harus menjarah barang-barang toko seperti yang beberapa hari belakangan banyak dilakukan orang, termasuk penduduk di sekitar rumah sewaanku? Tapi aku tau nuraniku menentang itu, lagi pula resikonya sangat besar. Aparat ada di mana-mana, apalagi bagaimana kalau tiba-tiba saat aku menjarah sebuah toko tiba-tiba toko itu dibakar dan aku ikut terpanggang di dalamnya? Aku tak mau ikut-ikutan jadi korban pemanggangan manusia itu. Lagipula kalau aku menjarah…, aku mulai mengkalkulasi harga seperangkat komputer. Berarti barang yang harus aku ambil…, hh, gila, itu pikiran gila!!

Mataku memandang keadaan sekeliling, ribuan manusia turun ke jalan, rusuh!! Sedari tadi hanya pemandangan suram yang aku temui, mulai dari gerakan mahasiswa yang menuntut turunnya presiden dan reformasi, sampai massa yang hanya ikut mericuhkan suasana. Entah siapa yang memprovokasi mereka, yang jelas banyak orang yang mengambil keuntungan dari semua ini termasuk para penjarah toko. Aku hanya termangu di pinggir jalan, kupandangi orang-orang yang baru saja keluar dari sebuah supermarket, dan puluhan orang lainnya memberondong masuk saat mereka melihat orang-orang itu keluar dengan membawa berbagai barang jarahan. Sesaat terlintas di pikiranku untuk bergabung bersama mereka, tapi otakku masih waras, aku masih bisa memikirkan segala kehawatiran yang menyergap diriku.

Tiba-tiba pandanganku tertuju pada seorang pria di seberang. Dari penampilannya kupikir ia seorang wartawan. Yap, tepat perkiraanku, tak lama ia mengeluarkan sebuah kamera dan dengan sigap ia mengambil sebuah gambar lalu kembali menyelamatkan kameranya ke dalam tas yang ia bawa. Sekali, dua kali, ia terus mengeksekusi fenomena di depan matanya. Mataku tak lepas menatapnya, sedetik kemudian setan memberiku sebuah ide cemerlang. Tak lama pria itu membidikkan kameranya tak jauh dari tempatku berdiri. Kukumpulkan segenap keberanian. Dengan tenang aku berjalan ke arahnya. Begitu aku tepat berdiri di depan pria itu, kujulurkan tanganku meraih kamera ditangannya. Sejenak terdengar suara gerakan rana kamera, dan detik berikutnya kamera itu sudah berpindah di tanganku. Pria itu terhenyak, dengan cepat ia hendak merebut kamera miliknya, tapi aku lebih sigap. Tubuh besar dan seringaiku mampu menahan laju langkahnya.

“Makasih, semoga Tuhan membalas kebaikanmu,” dengan nada mengejek aku meninggalkannya berlalu, lalu sesegera mungkin kakiku berpacu menerobos gang-gang sempit yang telah begitu kuhapal medannya. Hh… hh… tersengal napasku memburu. Kupandangi kamera di tanganku. Hatiku berseteru antara pertentangan dan keberuntungan. Aku tahu kamera ini harganya jauh lebih mahal dari hanya seperangkat komputer. Sebentar lagi aku bisa mewujudkan impianku, dan aku tak perlu lagi menyusahkan Mang Eang.

“Nih, baca!” ujar Mang Eang seraya menunjukkan sebuah tabloid politik ke hadapanku. Perlahan kubaca tulisan itu, lalu seulas senyum terhias di ujung bibirku.

“Nggak pa-pa deh Mang, dia juga pasti udah cukup kaya, nggak kayak kita-kita ini. Boleh lah dia nyumbangin sedikit hartanya buat nolongin kita. Iya kan?” kataku santai. Mang Eang hanya menggeleng.

“Terserah elo deh Ru. Tapi lumayan juga sih. Dari kamera itu lo bisa beli komputer dan nggak perlu ngutang-ngutang lagi sama gue. Sekarang malah gue yang bisa ngutang sama elo.”

“Ah, no problem Mang, itung-itung balas budi.” Mang Eang hanya tertawa kecil.

Sepergi Mang Eang kubaca lagi tulisan di tabloid itu. Wajah pria di situ masih kuingat jelas, ia adalah wartawan yang menginfakkan kameranya padaku. Hehehe… aku tertawa sendiri. Kasihan juga sih, di berita itu ia menuturkan pengalamannya saat meliput berita dua hari lalu, terutama perihal keapesannya kehilangan sebuah kamera yang direbut oleh seorang pria. Ya, pria itu aku. Hehehe… lagi-lagi aku terkekeh.

* * * *

Mang Eang melihat foto-foto di tangannya. Foto yang bagus, dari kamera rampasanku dulu. Sengaja filmnya tak kubuang, hitung-hitung kenang-kenangan, pikirku. Sayangnya, wartawan itu baru memakai sebelas frame dari 36 frame foto. Dan walau sudah dua setengah tahun yang lalu foto itu masih rapi kusimpan, siapa tahu suatu saat berguna. Lagipula ternyata wajahku pun ada di situ, di frame yang terakhir. Saat aku akan merampas kameranya, ternyata fotografer itu sempat menekan tombol kamera. Lumayan lah, ikutan nampang!!

“Nih, gue milih foto ini, menurut gue foto ini yang paling bagus, trus kasih judul, mm... euforia!! Gimana?” ujar Mang Eang.

“Apaan sih Mang,” tanyaku lagi. Mang Eang tak berkata apa-apa, ia hanya menyerahkan sebuah brosur.

“Lomba foto? Maksud Mang Eang…?”

* * * *

Perlahan aku melangkah menyusuri jalan tanah becek yang baru saja tersiram hujan. Beberapa meter lagi aku tiba di rumah. Tampak dari kejauhan Mang Eang tersenyum, menunggu di depan rumahku.

“Hai Mang, ada apa?” tanyaku.

“Wah…, nggak nyangka gue, lo laku juga jadi model,” ujarnya sembari tertawa.

“Model apaan?” tanyaku tak mengerti.

“Lo liat aja sendiri,” sahutnya lagi sambil menyerahkan sebuah majalah fotografi. Kubalik halaman-halamannya. Tepat pada satu halaman, aku terbelalak. Wajahku nampang di situ. Close up tiga per empat wajahku lengkap dengan seringai culasnya menjadi frame gambar, dengan posisi tangan yang terulur ke depan, dan back ground kerusuhan dan penjarahan di belakangnya. ‘Juara pertama lomba foto “EKSPRESI”, Renauld Pangemanan.’