
Mak bangkit dari tidurnya. Disampirkan kain panjang menutup kulit kakinya yang keriput. Ia terbatuk sesaat.
“Ti!”
“Ibu sudah berangkat ke pabrik, Nek!”
“Kamu belum berangkat sekolah, Susi?” Susi, gadis kecil berparas manis muncul di pintu, menyibak kain gorden hijau kumal yang menutupinya. Seragam merah putih sudah ia kenakan.
“Ini juga Susi mau berangkat,” Susi memakai sepatunya sembari duduk di ranjang dekat neneknya.
“Sudah dibilang jangan pakai sepatu di dalam rumah. Lantai ini buat sholat, buat jalan orang berwudlu,” Mak menepuk kepala cucu satu-satunya itu.
“Barusan dicuci kok. Nih lihat!” Susi mengangkat kakinya tinggi, menunjukkan sol sepatu yang bersih dari lekatan tanah.
“Susi berangkat ya nek,” dikecupnya tangan Mak, ia pun berlalu. Mak turun dari ranjang, melangkah perlahan menuju sumur belakang.
“Mak Ti! Mo mandi?” suara tetangga sebelahnya sedikit menjerit.
“Ya!” singkat jawab Mak. Tetangganya itu menghampiri. Seakan sudah terbiasa, ia mengambil air panas di dapur dan menuangkan ke ember untuk air mandi Mak. Mak memandang tubuhnya di cermin. Tak lagi muda, bahkan tampak mengerikan. Payudaranya berbelang hitam tak beraturan dan ukurannya tidak normal untuk wanita seusianya. Mak mengusap dadanya perlahan.
“Akarnya mungkin sudah sampai ubun-ubunku,” bisik Mak sembari mengurai rambut panjangnya yang tipis putih keabuan. Beberapa helai tersangkut di tangannya dan luruh ke lantai.
“Aku hendak mati.”
---
“Mak, Mak tak perlu lagi masak. Biar Asti minta sama Kak Nah masakan untuk Mak dan Susi setiap hari. Mak istirahat saja,” Asti menata nasi dan lauk pindang sayur asam buatan Mak di atas meja. Sesaat suara Susi yang tengah mengaji iqro’ 5 terhenti.
“Aku masih bisa masak. Tak perlu minta bantu tetangga. Kalau aku tak sanggup tak ada makanan terhidang di meja seperti sekarang. Ayo Susi, ulang yang ini.”
“Dzaamaaliw wabaniina.”
“Hmm.”
“Ayyatuuba ‘alaihim.”
“Hmm.”
“Tapi Mak, fisik Mak lemah. Mak harus banyak istirahat. Mak sudah minum obatnya siang ini?” Asti meraih bungkus obat dan memeriksa jumlahnya.
“Aku masih kuat, kau yang anggap aku lemah.” Asti diam saja, tak ada gunanya membantah Mak.
“Mak, Asti berangkat ya. Jangan lupa minum obatnya nanti malam,” Asti mengecup tangan Mak.
“Ibu berangkat, Susi. Jaga nenek ya,” Asti mencium kening anaknya yang terbungkus kerudung tipis seadanya.
“Pintunya jangan diselot, kuncinya dicabut, biar nanti malam...”
“Ya ya, aku sudah tahu. Aku belum pikun!”
Ulat itu terdiam pada sebuah ranting. Ia ikatnya seutas benang pada tubuhnya. Dibiarkan tubuhnya menggantung tertempel. Lalu ia mulai memintal selongsong kehijauan sedikit demi sedikit.
Asti berdiri di tepian jalan yang gelap, ia sudah terbiasa berdiri di situ. Sebuah audi hitam berhenti. Pintunya terbuka. Asti masuk tanpa ragu.
“Sudah lama menunggu, manis?” pria tua 50-an memeluknya mesra.
“Lumayan,” Asti menanggapi dingin.
“Kenapa kamu malam ini? kok nggak kayak biasanya? Ayo, bilang saja sama Oom Sabdo!” Oom Sabdo mengusap rambut panjang Asti. Ia adalah pelanggan tetap Asti selama hampir 3 tahun ini, seorang manajer perusahaan jasa. Tubuhnya tidak menampakkan ciri-ciri orang kaya pada umumnya. Ia bertubuh kurus, pendek, dengan kulit hitam dan rambut separuh botak, serta kacamata mungil. Tak sebanding dengan Asti yang tinggi semampai, cantik, berkulit langsat, dan berambut hitam berombak. Tapi Oom Sabdo memiliki materi yang Asti butuhkan. Kecantikan Asti itulah yang mengantarkannya pada pelanggan sekelas Oom Sabdo. Awalnya Asti menjadi PSK liar. Ketika itulah ia mendapat Susi, anak yang tak jelas siapa ayahnya. Anak hasil hubungannya dengan salah satu pelanggan 9 tahun silam. Walau begitu Asti sangat menyayanginya. Setelah melahirkan Susi, ia kembali ke jalan. Hingga Asti bertemu Oom Sabdo.
Mereka tiba di hotel. Asti tetap bergelayut pada gundahnya,
“Oom, saya butuh banyak uang.”
“Untuk apa? Ada masalah apa lagi? Anakmu? Atau ibumu?”
“Ibu saya harus diterapi dan dioperasi. Tapi Oom tahu seberapa kemampuan saya. Belum lagi biaya untuk Susi yang makin lama makin tinggi.”
“Mm, let me think!” Oom Sabdo terdiam sesaat. Walau bagaimana pun Oom Sabdo sangat baik padanya. Sudah terlalu sering ia membantu Asti. Asti hampir seperti istri simpanan, bedanya ia dibayar tiap malam pertemuan mereka dengan tarif tetap. Oom Sabdo tak akan memberikan kekayaannya seperti bagi seorang istri simpanan, itu yang Asti rasakan.
“Mungkin 3 hari lagi kamu bisa mendapat uang yang kamu butuhkan, tapi ada syaratnya. Kamu mau?”
“Apa syaratnya?”
“Hmm, begini. Aku akan punya rencana mengajak 2 temanku kemari, kami akan pesta sampagne. Dan kamu buat kita bertiga senang. Aku akan membayarmu 20 kali lipat, begitu juga 2 temanku, asal kamu mau memberikan service special untuk kami. Dengan begitu kamu bisa dapat beberapa puluh juta dan kamu bisa pakai untuk pengobatan ibumu dan biaya sekolah anakmu. Bagaimana?” Asti termenung.
“Ayolah Asti, tidak ada yang bisa didapat dengan gratis kan?” ujar Oom Sabdo sambil melangkah ke kamar mandi. Asti mengusap dadanya perlahan.
Selongsong kepompong pupa itu mulai menguning. Bercak-bercak hitam pada warna hijaunya kini berganti semburat tipis di beberapa sisi. Pupa hanya berdiam diri. Menghancurkan sel-sel larva dan menumbuhkan sel-sel baru untuk bentuk dewasanya.
“Mak masak lagi?”
“Kasihan Susi, mau makan apa dia kalau tidak ada yang masak?”
“Mak kan bisa suruh Kak Nah. Nanti biar Asti yang bayar belakangan.”
“Kalau aku masih bisa kenapa pake suruh orang lain?” Asti beranjak ke kamar anaknya. Ia benahi ranjang yang berantakan dan memeriksa buku-buku pelajaran Susi. Sesaat Asti menatap tubuhnya di cermin.
“Besok Asti mau bilang sama Kak Nah buat masak. Malam ini Asti mau dapat uang banyak, Mak.” Tak ada sahutan dari Mak. Asti menyibak tirai pintu kamar Susi. Dilihatnya Mak duduk termangu di kursi kayu yang terletak di pojok dapur.
“Mak, Mak dengar omongan Asti?” Asti bersimpuh dan merengkuh tangan Mak.
“Aku lebih senang kalau kamu yang masak.”
“Tapi Asti nggak akan sempat. Mak juga tahu itu.”
“Kalau begitu kamu tak perlu pergi malam. Cukup kamu jadi buruh pabrik saja, yang malam tak usah lagi.”
“Tapi Mak, justru Asti bisa dapat uang banyak dari kerja malam, Mak.”
"Mak tak perlu duit banyak, biar sedikit asal halal.”
“Mak percayalah sama Asti, malam ini Asti akan dapat uang banyak. Cukup untuk biaya terapi dan operasi Mak, juga untuk biaya sekolah Susi.”
“Mak tak perlu diterapi, Mak tak mau diterapi. Rasanya sakit, sakit sekali. Toh sebentar lagi Mak mati, akarnya sudah menjalar ke mana-mana, sudah terlambat. Lebih baik Mak mati.”
“Mak jangan bicara begitu, Asti tak mau Mak mati. Asti cinta sama Mak, kalau pun Mak harus mati, Asti tak ingin tak melakukan apa pun untuk Mak,” kali ini air mata Asti mulai menetes.
“Mak takut sehatnya Mak tak barokah.”
“Asti tahu Asti pelacur, Mak. Kalau dosa, kalau tak barokah, Asti minta sama Tuhan untuk melimpahkan itu semua pada Asti, bukan pada Mak, apalagi Susi. Asti lakukan ini semua untuk Mak dan Susi.”
“Mak tak butuh uang banyak. Lebih baik bagi Mak kalau kita miskin.” Kali ini Asti terisak.
“Mak, maafkan Asti, Mak. Tapi... Asti juga sakit, sama seperti Mak. Di sini,” Asti menyentuhkan tangan Mak ke dadanya. Rahasia yang ia simpan selama ini terkuak sudah. Hidung Mak kembang kempis, matanya berkedip-kedip menahan air mata. Ia memeluk Asti tanpa suara.
“Kata orang itu penyakit turunan. Dan Asti sudah siap sedari dulu kalau suatu saat Asti harus menanggung ini.”
“Maafkan Mak, Asti. Maafkan Mak. Gara-gara Mak kau sakit seperti ini,” hatinya bagai teriris sembilu. Rasanya sakit, lebih sakit dari derita yang dirasakan sekujur tubuhnya yang digerogoti kanker.
“Mak tak salah. Karna itu Asti ingin melakukan segalanya demi kesembuhan Mak. Ini juga untuk Susi, Mak. Biaya sekolah Susi makin tinggi makin hari. Tiap cawu ia harus beli buku baru, belum lagi ongkos angkutan yang naik terus terusan. Buku, pensil, tas, sepatu, semuanya Mak, semuanya butuh biaya. Dan Asti mencari uang sebanyak-banyaknya untuk biaya sekolah Susi. Susi tak boleh bodoh dan gagal seperti Asti. Dia harus jadi orang pintar, orang sukses, orang kaya. Biar kalau Susi sudah besar, dan Asti sudah setua Mak, Susi tak perlu jadi seperti Asti untuk mencari biaya pengobatan ibunya.” Mak semakin hanyut dalam tangisnya.
“Karna itu Mak, tolong maafkan Asti. Dan tolong bantu Asti mendidik Susi. Perkembangan jiwa Susi sangat bergantung pada didikan Mak. Mak mau?”
“Mak akan didik dia jadi wanita solehah.” Asti luruh ke telapak kaki Mak, ia menangis pilu.
Sayap, tungkai, dan mulut dewasanya terbentuk sempurna. Selongsong kepompong yang mulai mengering terbuka perlahan oleh dorongan kepalanya. Serangga itu merayap keluar dari kepompong. Sayapnya yang kuning tua masih lemah mengatup bersabar. Ia bertengger tak jauh dari kepompong kosong yang ia tinggalkan.
Asti luruh di ranjang. Ia mengusap keningnya yang berpeluh. Di luar terdengar suara 3 pria bercengkrama. Mereka tengah menikmati pesta yang baru akan usai setelah ketiganya tertidur mabuk. Asti menatap langit-langit putih kamar hotel. Bayangan Susi terukir di situ.
“Susi, Susi harus belajar yang bener ya, biar kalau sudah besar Susi jadi orang sukses, orang pintar, orang kaya...”
“Jadi anak soleh!”
“Iya, jadi anak soleh juga. Jangan seperti Ibu ya nak?” Susi hanya mengangguk, entah ia mengerti atau tidak.
“Nanti kalau Susi sudah besar Susi mau jadi apa?”
“Mau jadi dokter.”
“Oh ya? Dokter? Kenapa?”
”Soalnya pintar, uangnya buanyak, rumahnya buesar.”
“Trus nanti kalau Ibu sakit Susi mau ngobatin nggak?”
“Mau. Nanti Susi ngobatin Ibu biar nggak sakit.”
“Ngobatin nenek juga nggak?”
“Iya, nanti Susi ngobatin Nenek biar sembuh, sama ngobatin Ibu.”
“Ibu disuntik dong?”
“Iya, Ibu disuntik di sini, juuss!” Susi menekan telunjuknya ke pantatnya sendiri. Mereka tergelak berdua. Asti memeluk Susi mesra.
“Ia akan mengobatiku dengan kasihnya.”
Kupu-kupu kuning tua mulai mengembangkan sayapnya. Ia terbang melaju, meninggalkan kepompong kering yang kosong. Warnanya yang indah memantulkan sinar, bersatu dengan warna-warni bunga. Kupu-kupu kuning tua terbang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar