Rabu, 19 Desember 2007

WULAN DAN TVNYA

menjadi salah satu pemenang dalam lomba cerpen yg diadakan
yayasan PLAN, Surabaya - Indonesia, tahun 2004


Orang sebaik itu pasti tidak nakal,” ujar Putri menjawab pertanyaan Lily. Cinta tampak terpukul mendengar Putri memuji Rangga seperti itu. Sepertinya Putri sengaja berkata seperti itu untuk menyakiti hati Cinta. Wulan juga sebal. Huh! Sebal sekali. Dia memukul bantal di pangkuannya.

“Ehem ehem,” tring! Dharu memetik gitar kecilnya.

“Ceritane sinetron Indonesia, wagu-wagu ora ono sing mutu, temane isone mung niru, luwih apik ayo ditinggal turu…,” sengaja suaranya ia keraskan sambil duduk di kursi dekat pintu, berharap Wulan, yang sedang menikmati TVnya, bisa mendengar suaranya.

“Sineas ora ono sing cerdas, senengane nggawe adegan panas...”

“Mas Dharu, diam!” benar, kontan Wulan bangkit dari duduknya dan memburu Dharu berapi-api.

“Ibu, Mas Dharu nakal!”

“Orang sebaik Dharu pasti nggak nakal,” Dharu menirukan dialog di sinetron barusan.

“Ibuuu...!”

“Dharu,” suara Ibu terdengar dari dalam. Dharu langsung ngibrit sambil tertawa.

Akhir-akhir ini Dharu memang sering menggoda adiknya. Pasalnya, sejak ada TV 14” di rumah mereka Wulan hampir tidak pernah beranjak dari situ. Bapak membeli TV itu sebulan yang lalu. Walau pun hanya TV bekas tapi kondisinya masih bagus. Dan Wulan adalah orang yang paling berbahagia dengan kehadiran anggota baru itu di rumah mereka. Dia menyukai semua acara dan bintang-bintangnya. Mulai dari sinetron, musik, reality show, bahkan iklannya. Wulan sangat mengagumi mereka, hingga pada ambang batas yang paling ditakuti Dharu: Wulan ingin seperti mereka.

“Iiih...,” Wulan gemas pada dirinya sendiri. Ia mematut di depan cermin, bergaya layaknya bintang. Berlenggak-lenggok, menyibak rambut pendeknya yang merah dan kering, membedaki wajahnya yang hitam dan kotor, membayangkan dirinya seperti para artis: cantik, putih, mulus, berbakat, terkenal, kaya, dan bahagia.

“Mas, aku item ya? Mas, aku terlalu kurus ya? Kulitku kering eee. Rambutku kaku banget,” dan keluhan-keluhan lain yang akhir-akhir ini makin sering Wulan lontarkan. Tapi lama kelamaan Dharu semakin kesal menghadapinya.

“Maklumlah Ru, adikmu mulai remaja,” ujar Ibu ketika Dharu bercerita perihal adiknya. Akhirnya Wulan tak pernah lagi mengeluh pada Dharu. Dia lebih suka bercerita pada teman-teman putrinya sesama pengamen di pinggir jalan.

“Aku pingin coba itu lho, pemutih yang di TV itu,” ujar Wulan.

“Mahal, paling harganya puluhan ribu,” jawab temannya.

“Kemarin aku liat di toko, harganya 20-an.”

“Lha iya makanya, eman kan?”

“Tapi nggak pa-pa. Kalo tiap hari panas-panasan gini kan kulit perlu dilindungi. Biar nggak terbakar sinar matahari,” Wulan semakin pandai menirukan iklan. Sesaat kemudian lampu hijau berganti merah. Teman-teman Wulan kembali turun ke jalan, menggoyangkan krincingan tutup botol mereka. Tapi Wulan tak bergerak, ia duduk merenung di tepi jalan. Otaknya sibuk menghitung angka-angka. Tiap hari penghasilannya sekitar 20.000 – 40.000. Kalau sedang mujur bisa sampai 60.000. Untuk makan di jalan 5.000, untuk Ibu paling tidak 20.000. Kalau begitu ia bisa mengumpulkan uang sebesar 25.000 dalam waktu 3 sampai 5 hari. Yap! Wulan mantap. Hatinya bersikeras.

“Aku pasti bisa.”

Benar saja, empat hari kemudian Wulan sudah membawa uang 24.850 di sakunya. Setelah yakin kakaknya tidak melihat, wulan masuk ke sebuah toko dan menunjuk sebuah produk pemutih pada pelayan. Segera disembunyikan benda itu di balik bajunya dan melenggang seperti tidak ada apa-apa. Kalau kakaknya tahu pasti Wulan akan ditertawakan dan diolok habis-habisan.

Sesampainya di rumah Wulan mendekati Ibu dan Bapaknya yang sedang berbincang serius. Ia tak ingin mengganggu, ia hanya ingin menyapa TVnya yang seharian ini ia tinggalkan. Wulan meraih remote TV dan menekan powernya.

“Lan,” tiba-tiba Bapak memanggilnya. Wulan menoleh tanpa beranjak.

“Kalau besok nggak nonton TV lagi gimana?” Wulan tak mengerti dengan pertanyaan Bapak. Ia diam saja.

“Lik Mardi butuh uang untuk Bambang. Bambang kan sakit, kamu tahu to?” Wulan masih tak menjawab. Ia tahu saudara sepupunya itu tengah sakit.

“Makanya TVnya mau Bapak jual, buat biaya pengobatan Bambang.”

“Wah, jangan, Pak. Eman,” jawab Wulan singkat.

“Nggak pa-pa Pak, jual aja,” Dharu menyahut.

“Jangan. TV baru sebulan kok masa mau dijual lagi.”

“Kamu harus ngalah, Lan. Bambang kan sedang sakit,” kali ini Ibu yang bicara.

“Cari utangan aja. Pokoknya jangan dijual TVnya. Aku nggak mau dengerin radio thok. Bosen!” Bapak dan Ibu tak bisa membantah. Hanya Dharu yang melanjutkan perdebatan mereka berdua, hingga Wulan berteriak-teriak kesal seperti biasanya.

Malam itu di dalam kamarnya Wulan kembali berkaca. Diraihnya pemutih yang baru saja ia beli, membuka bungkusnya dan membaca petunjuknya dengan seksama. Ia oleskan krim pemutih itu di wajahnya. Dan segera ia sembunyikan krim pemutih itu di bawah tumpukan baju. Kulitnya terasa lengket dan kaku, sangat tidak nyaman.

“Tapi tidak apa, lama kelamaan aku juga akan terbiasa,” pikir Wulan. Ia berbaring di kasur, menjaga agar wajahnya tidak banyak bergerak. Ia khawatir kalau khasiatnya akan tidak maksimal bila ia terlalu banyak menggerakkan wajah. Ia juga menjaga agar tidurnya tetap terlentang. Sayang kalau krim pemutih yang sudah ia oleskan menggores di bantal. Tapi ia tak terbiasa tidur dengan posisi terlentang begitu. Biasanya sepanjang malam Wulan membebaskan tidurnya berputar-putar 360 derajat. Tentu saja tidurnya jadi tidak nyenyak malam itu.

Ketika esok paginya Wulan terbangun, ia merasakan kulitnya gatal dan panas.

“Pemutihnya sudah mulai bekerja, seperti yang tertulis di brosur,” Wulan menghibur dirinya sendiri. Sebelum berangkat ngamen diam-diam wulan mengoleskan kembali krim itu dan mengembalikan di tempat persembunyiannya.

Siangnya matahari panas membakar. Wajah Wulan juga semakin panas dan mulai tampak kemerahan. Teman-temannya heran melihat wajah Wulan yang tidak seperti biasanya.

“Aku sudah pake pemutih itu,” Wulan berbisik pada mereka.

“O ya?” spontan teman-teman putrinya mendekat ke Wulan, ingin tahu bagaimana rasanya. Wulan tampak bangga bercerita pada mereka, walau pun dalam hati ia tersiksa dengan wajahnya yang kepanasan.

Hingga keesokan hari wajah Wulan tak juga pulih, justru terasa semakin panas dan gatal. Kulitnya mulai melepuh di beberapa tempat.

“Kok tambah parah ya?”

“Coba kasih lidah buaya. Ibuku biasanya kalau luka bakar pake lidah buaya.” Layak dicoba, pikir Wulan. Tapi tak ada tanaman lidah buaya di rumahnya.

“Dirumahku kan ada. Nanti pas pulang kamu mampir aja,” salah satu temannya memberi jalan keluar.

Sesuai janji Wulan mampir ke rumah temannya untuk mengambil sedikit lidah buaya. Sambil masuk dari dapur rumah ia menyembunyikan lidah buaya itu di balik tubuhnya.

“Apa itu, Lan?” tiba-tiba Ibu sudah ada di belakang Wulan.

“Mmm...,” Wulan ragu-ragu.

“Lidah buaya,” ia mengacungkan lidah buaya di depan dadanya, dengan memasang tampang grogi.

“Untuk apa?” Wulan tidak tahu mesti menjawab apa. Ia berharap Ibunya hanya bertanya sambil lalu dan beranjak pergi, tapi ternyata perkiraannya salah. Ibu hanya diam menunggu Wulan menjawab. Wulan kebingungan. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan lidah buaya itu.

“Buat rambut?” tanya Ibu lagi.

“Em, iya,” Wulan tak punya pilihan lain. Ia takut kalau menjawab jujur maka pertanyaan Ibunya akan berlanjut hingga ia tak bisa lagi menyembunyikan rahasia krim pemutihnya.

“Seharusnya bukan pake lidah buaya. Rambutmu sudah banyak, tapi kering. Seharusnya kamu pake santan,” jawab Ibu sambil beranjak ke dapur. Fuf! Wulan lega. Ibu sama sekali tak menyangka ada perubahan di wajahnya yang memerah. Wulan segera melompat masuk ke kamarnya. Perlahan ia oleskan lendir lidah buaya di wajahnya. Agak perih! Tapi Wulan berusaha menahan. Yang penting sembuh, pikirnya. Dan Wulan kembali terlelap dalam tidurnya yang sudah kehilangan rasa nyenyak sejak dua hari yang lalu.

Paginya Wulan melihat wajahnya di cermin. Rasa panas dan gatal itu tidak juga hilang, malah bertambah perih. Tapi Wulan diam saja. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai terlihat melepuh. Ia tak mau Ibu, Bapak dan kakaknya melihat wajahnya itu.

Tapi di jalan rasa perihnya tak tertahankan. Matahari yang menyengat menambah panjang daftar siksaan Wulan. Dan teman-temannya memandang kasihan padanya.

“Lan, coba kasih timun.”

“Ah, emoh! Nanti malah tambah parah.”

“Nggak. Kan timun dingin. Jadi biar dingin dulu mukamu, nanti juga sembuh.”

“Masa sih?”

“Coba aja.”

“Halah, mukaku dicoba-coba.”

“Lha kamu juga sudah nekat coba-coba pemutih macem-macem.” Wulan diam saja, ia agak malu. Tapi semua sudah kepalang.

“Timunnya diparut, airnya diperas, trus airnya itu pake di mukamu.” Wulan tak punya pilihan. Wajahnya sudah hancur lebur, dan ia tak bisa menghindar kecuali menyembuhkan wajahnya agar kembali seperti semula.

“Bu, punya timun nggak?” tanya Wulan di rumah. Ia berlindung pada cahaya dapur yang remang-remang untuk menutupi wajahnya.

“Untuk apa?” Wulan memutar otaknya, tapi ia tetap tak menemukan jawaban. Ibu memberikan sebuah timun muda pada Wulan tanpa memaksa anaknya itu menjawab. Ibu tidak bertanya-tanya lagi. Tapi diam-diam Ibu memperhatikan Wulan. Wulan memarut timun itu kemudian memerasnya ke dalam sebuah mangkuk, lalu meninggalkan Ibu tanpa bercerita apa-apa. Di dalam kamarnya yang penuh rahasia Wulan mengoleskan air mentimun ke wajahnya. Dan sekali lagi berharap terjadi keajaiban.

Ketika terbangun, hal pertama yang dilakukan Wulan adalah memandang wajahnya di cermin. Rasanya ia ingin berteriak. Berteriak karena terkejut juga karena kesal. Tak ada perubahan di wajahnya selain rasa gatal yang semakin menjadi-jadi. Wajah Wulan tampak bengkak dan iritasi di beberapa tempat. Ia ingin menangis.

“Ibuu...,” Wulan menyerah. Ia sudah kehabisan akal dan kesabaran. Ibu mendengar terikan Wulan dan masuk ke kamarnya.

“Bu, mukaku...” hanya itu yang sanggup diucapkan Wulan sebelum ia mulai menangis. Ibu mendongakkan wajah Wulan. Keningnya berkerut, jemarinya mengusap wajah Wulan. Tapi ia tak berkata apa-apa.

“Nggak pa-pa. Mandi dulu sana! Bersihkan mukamu! Nanti juga sembuh,” hanya itu jawaban Ibu kemudian meninggalkan Wulan sendiri di kamarnya. Dharu yang tidak pernah menyia-nyiakan momen apa pun di rumah segera mengintip ke kamar Wulan untuk sedetik kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

“Dientup tawon ya?” Tangis Wulan semakin keras.

“Dharu!” suara Ibu lagi-lagi menyelamatkan Wulan dari kejahilan Dharu.

Wulan duduk diam di depan TV. Hari itu ia tidak bisa pergi, Ibu menyuruhnya tinggal di rumah agar wajahnya tidak kotor terkena matahari dan debu jalanan. Ia menatap TV dengan rasa enggan. Kemudian muncul iklan produk pemutih dengan artisnya yang putih dan beruntung menurut Wulan. Huh! Wulan mengganti channelnya. Tapi yang ia temukan kemudian adalah gosip artis lengkap dengan dandanan menor mereka yang membuat mereka tampak cantik. Wulan semakin gondok. Tak lama Ibu menghampiri.

“Ini, diolesin sehabis mandi,” Ibu menyerahkan sebuah salep dalam kemasan tube kecil.

“Tadi Ibu ke puskesmas minta obat. Kata pak mantri obat itu bisa.” Wulan diam saja menatap obat itu di tangannya. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain kembali berspekulasi dengan wajahnya. Tapi Wulan tak menolak. Ia mengoleskan obat itu di wajahnya dan berharap kali ini terjadi mukjizat.

Wulan melangkahkan kakinya ke jalan ketika lampu berganti merah. Wulan tidak menghiraukan sinar matahari yang menyengat dan udara yang kotor di sekitarnya. Wajahnya sudah sembuh walau pun tidak berubah menjadi putih dan mulus. Tapi Wulan tak lagi peduli, ia lebih merasa nyaman dengan wajahnya yang hitam dan kotor daripada terobsesi dengan krim pemutih yang menyiksanya selama lima hari. Krim pemutih itu sengaja tidak ia buang, ia memajangnya di atas meja kamar.

“Kenang-kenangan,” pikir Wulan.

“Lagian eman, harganya mahal.” Wulan juga merelakan Bapak menjual TVnya. Itu lebih baik bagi Wulan. Ia menaiki sebuah bis kota yang sedang berhenti.

“Permisi pak bu,” cring cring! Digoyangkan krincingan tutup botolnya dan ia bersiap bernyanyi,

“Ceritane sinetron Indonesia, wagu-wagu ora ono sing mutu...”

Tidak ada komentar: