
Namaku Diah, tapi teman-teman biasa memanggilku Didi. ‘Lebih macho’ kata mereka, sesuai dengan selera penampilanku yang rada tomboy tapi tetap feminim. (gimana coba?) Aku suka berteman dengan siapa pun. Namun baru kali ini ada seseorang yang tak hanya menawarkan pertemanan denganku. Ia, tanpa sadar mungkin, telah menautkan hatinya padaku, menjadikanku anjungan untuk merapatkan rasa kasihnya yang tak punya tempat berlabuh…
20 April 2000
“Hai! Namamu siapa?” tiba-tiba sebuah suara memecah kesunyian, mengejutkanku. Kusapukan pandangan ke arah datangnya suara, namun tak kutemukan seorang pun. Aku tercenung sendiri menatap sekitar. Hari masih sangat pagi, bahkan matahari belum memulai tugas rutinnya. Rumah-rumah masih terterangi lampu. Dan aku sendiri di atap rumah ini. Pakaian basah di tanganku menitikkan tetes air cuciannya, menyusun nada bening tertimpa ember plastik.
“Hai!! Namamu siapa?!” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Aku tersentak. Kualihkan wajahku ke sisi kanan. Mataku bersiborok menatap sesosok manusia di tengah temaram, sejajar di kananku, hanya berjarak 5 meter dari tempatku. Bergidik aku memperhatikan sosok itu, bulu romaku tegak. Kutatap ia, seorang gadis yang berdiri seimbang di genting rumah sebelah, rambutnya yang sebahu keriting kumal tergerai, sebagian menutupi parasnya yang kotor, namun masih tampak sisa kecantikan alami di situ. Pakaiannya yang lusuh dan kumal menambah kesan seram, apalagi lampu suram dari sebuah ruang sempit di belakangnya melengkapi ketakutanku. Dia menyeringai, deretan gerigi kuning terihat sinis, matanya tajam menatapku. Aku mundur beberapa jarak, pakaian di tanganku kuletakkan lagi di ember.
“Hi…hi…hi…,” gadis itu terkekeh perlahan, membekukan detak jantungku, darahku berdesir kaku. Uff… kenapa pula aku harus bertemu dengan sosok semacam ini di pagi petamaku? Kemudian perlahan ia duduk di genting tempatnya berdiri, dirangkul kedua kakinya, detelekan dagu ke lututnya. Matanya memandang lepas ke depan, kosong. Lalu sesaat kemudian mulutnya mulai menceracau tak karuan. Terkadang ia menyebut-nyebut nama seseorang, lalu memaki, lalu tertawa, lalu kembali terdiam. Hh… aku baru sadar siapa yang kuhadapi. Kutarik napas lega panjang, orang gila!! Dia cuma orang gila. Kupikir…
Kupercepat kerjaku, sudah jadi kebiasaanku mencuci sebelum subuh dan menjemurnya ba’da subuh, dan selalu kulakukan seorang diri, sementara orang lain masih enggan beranjak dari ruang hangatnya. Tapi baru kali ini aku ditemani oleh seseorang yang belum kukenal, dan ia hanya menceracau sendiri, tidak mengajakku berbicara. Tapi kalau pun ia mengajakku berbincang… apa aku mau?
Perlahan kuturuni tangga kayu, di bawah sudah menanti Mbak Iin seraya tersenyum ke arahku.
“Diajak ngobrol sama Mae ya dhe’?” tanyanya padaku.
“Mae?” ujarku tak mengerti.
“Itu, anak sebelah yang suka duduk di genting rumahnya,” jelasnya.
“Oh…,” aku mengangguk perlahan.
“Maklum aja, dia tuh rada sakit,” tambah Mbak Iin seraya meletakkan jarinya miring di dahi.
“Tapi kasihan Dhe’, sama orang tuanya dia dikurung di kamar itu. Kata orang-orang sih dia nggak pernah dirawat, cuma di kasih makan doank, bahkan seringnya dipukulin sama bapak tirinya. Ibunya mana peduli. Ya…, gimana nggak tambah gila tuh anak diperlakukan seperti itu.” Aku hanya manggut-manggut mendengar ceritanya. Sebagai orang baru di kontrakan ini aku memang belum begitu tahu situasi sekitarku.
“Tapi dia suka duduk di situ cuma pagi aja, kalo mulai siang dia disuruh masuk sama orang tuanya. Dulu sih kita juga sering ketemu sama dia kalo pas jemur baju pagi-pagi, tapi sekarang kita pada ngeri semua, liat penampilannya itu lho. Jadinya kita ngubah jadwal nyuci baju rada siangan,” Mbak Iin mengakhiri ceritanya. Aku diam tak menimpali, hanya merenungi ucapannya tadi. Kasihan. Hanya itu yang terbersit dalam hatiku. Tapi tak adakah yang mencoba mengajaknya berbicara? Sekedar menjadi temannya berbagi cerita mungkin?
“Aku pernah ngajak dia ngobrol waktu aku ketemu dia,” ujar Mbak Lia, mahasiswi paling senior di rumah ini saat aku menceritakan perihal Mae padanya.
“Kasihan dia, nggak ada yang mau jadi temannya. Pastinya dia juga butuh temen buat ngobrol
22 April 2000
“Hai! Namamu siapa?” nah, suara itu, ini saat yang kutunggu-tunggu. Kualihkan wajahku, gadis itu sudah berada di depan jendela kamarnya, berdiri tegak di genting, persis seperti dua hari yang lalu.
“Aku Didi, kamu siapa?” jawabku ramah. Aku beranjak mendekatinya. Sesaat ia mundur takut, namun langkahnya terhenti saat kutorehkan senyum tulusku di bibir.
“Namamu siapa?” kuulangi pertanyaanku, walau aku sudah tau namanya, tapi kupikir pertanyaan ini adalah pertanyaan paling tepat untuk mengawali perkenalanku dengannya. Gadis itu menyeringai, walau tampak menakutkan tapi kurasa ada sedikit senang. Perlahan ia duduk, seperti kemarin, diletakkan dagu di lututnya. Aku pun duduk di tembok kecil tepian atap.
“Aku Didi, di-di. Kamu?” kueja namaku perlahan, kuharap kali ini dia menjawab pertanyaanku.
“Mae,” ujarnya cepat. Aku tersenyum lagi, akhirnya. Dia tersenyum seringai.
“Mae sekolah?” tanyaku lagi. sesaat dia terdiam, lalu perlahan kepalanya menggeleng. Hh, kutarik napas dalam, ternyata tak terlalu sulit baginya untuk memahami perkataanku.
“Namamu siapa?” tanyanya lagi. Kembali kueja namaku,
“Di-di,”
“Di – di,” tirunya.
“Didi sekolah?” ia menirukan ucapanku, aku kembali tersenyum.
“Iya, aku kuliah,” jawabku singkat. Ia kembali menyeringai, kali ini lebih manis.
“Bangunnya pagi ya?” tanyaku mencoba mengakrabkan diri. Mae hanya diam tak menjawab.
“Nyuci baju ya?” tanyanya singkat. Aku mengiyakan. Lalu ia berdiri lebih dekat ke arahku, dilongokkan kepalanya melihat ember cucianku. Kutatap wajahnya lebih lekat. Ya, ia memang cantik. Dengan paras mongoloid, kulit kuning, dan mata sipitnya menambah ayu mukanya yang mungil. Anak secantik ini, mengapa pula orang tuanya tega menyia-nyiakan ia, gumamku dalam hati.
“Mama papa Mae mana?” tanyaku. Mae hanya diam, tampak ragu tersirat di wajahnya.
“Mami papi?” ralatku, kupikir ia tak memanggil orang tuanya dengan sebutan mama-papa.
“Bobo’!” jawabnya singkat. Aku mengangguk mengerti. Sesaat aku pun terdiam, tak tau harus berbicara apalagi. Mae kembali duduk di tempatnya berdiri, lalu mulutnya kembali berceracau. Kucoba menangkap omongannya. Saat ia sebutkan sebuah nama, kucoba menimpali,
“Siapa itu?” tanyaku.
“Papi!” jawabnya. Selanjutnya ia mengucapkan beberapa umpatan kasar, seperti ingin memuntahkan rasa benci di hati. Aku tertegun. Baru kusadari, walau otaknya tak waras, tapi hati nuraninya masih punya perasaan. Ia punya rasa benci, kesal, dan sakit hati. Maka pasti ia pun punya rasa kasih, pikirku dalam hati. Tapi pada siapa rasa kasihnya itu ia berikan? Belum habis pikirku, terdengar langkah kaki di dalam rumahnya, lalu suara sentakan marah seorang pria. Mae memalingkan wajah, seketika wajahnya pias, bergegas ia masuk kembali ke kamarnya. Aku terpana, aku bisa merasakan ketakutan yang dialaminya. Detik berikutnya aku kembali sendiri, tanpa Mae. Aku beranjak mendekati ember cucianku. Kembali kulanjutkan aktifitasku, tapi pikiranku tak bisa mengibas kejadian yang baru saja kualami. Kasihan. Lagi-lagi itu yang terlintas di benakku. Kenapa tak kucoba untuk lebih dekat dengannya, sekedar menjadi teman berbincang di pagi harinya yang sunyi. Atau barangkali menjadi temannya?
23 April 2000
“Hai, namamu siapa?” lagi-lagi pertanyaan yang sama. Aku tersenyum pada Mae yang juga sudah berdiri di depan jendela kamarnya.
“Mae lupa ya? Aku Didi. Kemarin
“Mae mau ini?” kusodorkan sebatang coklat kearahnya. Sesaat ia ragu.
“Ini, ambil!” sahutku ramah. Mae melangkah mendekatiku. Diraihnya coklat ditanganku. Lalu tak lama ia sudah asyik memakan coklat itu. Aku tersenyum, tampak ada rasa suka terpancar dari matanya.
“Mae suka coklat ya?” Mae diam tak menjawab, ia tetap asyik mengunyah coklatnya.
“Kemarin Didi ke toko, trus liat coklat itu. Didi ingat sama Mae, mungkin Mae suka. Makanya Didi beli aja coklat itu buat Mae.”
“Mae dibeliin coklat sama Papi Yoga. Tapi papi Yoga nggak pernah beliin coklat lagi,” ujar Mae. Dahiku berkerut,
“Siapa itu Papi Yoga?” tanyaku. Mae menatapku.
“Papi Yoga sering ngajak Mae main ke lapangan. Tapi sekarang Papi Yoga nggak pernah datang lagi ke sini,” ujarnya lagi tanpa menjawab pertanyaanku. Tampak kesedihan dari sorotan wajahnya setiap kali ia sebut nama ‘Papi Yoga’. Ayah kandungnya kah? Mungkin ya, kupikir. Tapi kata Mbak Lia ayah kandungnya sudah meninggal tiga tahun yang lalu, dan sejak saat itu pikiran Mae mulai terganggu.
“Papi Yoga rumahnya disana, jauh…,” ujarnya seraya menunjuk langit. Aku mengerti maksudnya.
“Mae mau main ke
“Papi Yoga suka ngajak Mae jalan-jalan…,” ia terus bercerita tentang papi Yoga. Aku hanya tersenyum. Hingga lagi-lagi sebuah sentakan mengejutkan kami. Segera Mae beringsut masuk. Sesaat kemudian terdengar makian pria tadi menumpahkan amarahnya pada Mae, entah apa yang telah Mae lakukan. Lama-kelamaan caci maki itu ditimpali tamparan, dan terdengar teriakan Mae mengaduh, lalu ia menangis. Aku miris mendengarnya. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Kasihan. Hanya itu…
30 April 2000
“Hai!” sapa Mae kali ini lebih ramah. Aku tersenyum padanya. Semakin hari aku semakin akrab dengan Mae. Ia sering bercerita tentang dirinya, walau pun dengan susunan kalimat yang kadang sulit dimengerti maksudnya. Namun tak ayal, hingga saat ini ia belum hapal namaku. Tak mengapa, tak jadi masalah buatku. Yang penting ia hapal dengan wajahku, itu sudah sangat cukup. Mae berjalan mendekatiku hingga ke tepian atapnya. Ia julurkan kakinya, mencoba menggapai atap rumahku.
“Mau ke sini?” kuulurkan tanganku membantunya, sesaat ia ragu.
“Ayo nggak papa, jangan takut,” ajakku. Perlahan kakinya mencapai tembok pembatas atap. Dan menit berikutnya ia sudah berdiri tepat di sisiku. Aku tersenyum, ia pun tertawa senang. Lalu ia mengangkat tangannya, menyentuh kerudung kaosku.
“Mae mo pake?” tanyaku. Mae hanya tertawa kecil.
“Mae nggak punya ini,” ujarnya menunjuk kerudungku. Kuraih sebuah kerudung kaosku yang tergantung, sudah kering tapi belum kuambil dari jemuran.
“Ini buat Mae,” ujarku seraya menyerahkan kerudung itu. Mae tersenyum senang. Dikenakannya kerudung ke kepalanya. Rambutnya yang panjang masih tampak tersumbul di bagian sisi-sisi wajahnya. Kurapikan kerudungnya. Lagi-lagi ia tersenyum.
“Mae mau main ke rumah Didi?” tanyaku sambil menunjuk ke tangga turun ke arah rumah bagian dalam. Ia melongokkan kepalanya ke bawah, lalu cepat ia menggeleng.
“Nggak pa-pa, nggak usah takut,” sahutku meyakinkannya. Ia tetap menggeleng. Tak lama terdengar deheman seorang pria dari dalam rumahnya. Bergegas Mae beranjak mendekati genting rumahnya bermaksud untuk pulang. Kubantu ia menyeberangi atap itu, dan ia segera masuk melalui jendela dan menutupnya dari dalam. Kuhela napas panjang. Tak apa lah kalau ia tak bisa berkunjung ke rumah hari ini, mungkin lain waktu ia punya kesempatan.
2 Mei 2000
Untuk kedua kalinya Mae menyeberangi atap rumahnya. Ia kenakan jilbab biru pemberianku tempo hari.
“Mae makin cantik kalo pake kerudung,” ujarku memuji. Senyumnya terkembang, ia tampak semakin senang. Diraihnya sebuah pakaianku di ember, lalu ia letakkan di tali jemuran.
“Mae mo bantuin Didi?” tanyaku, ia hanya diam sambil terus mengambil pakaian yang lain.
“Gini cara jemurnya,” kuajari ia memeras pakaian basah itu lalu membaliknya hingga bagian luar pakaian berada di dalam, dan meletakkan di tali jemuran.
“Bagus,” pujiku lagi. Ia kembali tersenyum. Diraihnya lagi pakaian yang lain, ia peras, lalu wajahnya berpaling menatapku. Tiba-tiba ia kibatkan tangannya yang basah ke wajahku. Aku berteriak tertahan, ia pun tertawa melihat reaksiku.
“Nakal ya?” sahutku. Kubalas mengibatkan tanganku yang basah ke wajahnya. Ia pun berteriak sembari tertawa. Sesaat kami bercanda berdua, tawanya tak henti memecah kesunyian pagi ini. Tiba-tiba sebuah sentakan mengejutkan kami,
“Mae! Pulang!!” Serentak kami menoleh ke arah datangnya suara. Deg!! Sejuta terkejut merasuki hatiku tiba-tiba. Di jendela kamar Mae sudah tampak seorang pria berdiri menatap kami dengan tatapan penuh amarah.
“Pulang!!” teriaknya. Mae bersembunyi di balik punggungku.
“Maaf Oom, ijinkan Mae main sebentar dengan saya di sini,” kataku menghiba, berharap ia bersedia memberi ijin.
“Pulang!!” sentaknya lagi.
“Jangan dekat dengan orang itu! Ayo pulang!!” ketakutan Mae menjauhiku dan masuk ke kamar sempitnya. Air mata meleleh dari dua sisi matanya, namun ia hanya membisu tanpa suara.
“Mae anak saya, jangan pengaruhi dia,” ujar pria itu kasar.
“Tolong Oom, kasihan Mae, dia butuh teman. Saya tidak mempengaruhinya, saya hanya mengajaknya berbincang, itu saja,” sahutku.
“Nggak usah sok suci! Anda tidak punya hak mencampuri urusan keluarga saya,” pria itu menatapku dengan mata merahnya. Di belakangnya tampak Mae beringsut ke ujung kamar, matanya menatapku memohon. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Brak!! Jendela kamar ditutup keras. Aku tersentak. Lalu mulai terdengar suara-suara pukulan bertubi-tubi di kamar Mae, tapi aku tak mendengar suara tangis Mae. Hanya terdengar cacian pria itu. Hatiku menangis pilu, namun tak ada air mata yang mengalir. Ya Allah, tolong Mae, doaku dalam hati.
3 Mei 2000
Aku sendiri kali ini. Kupandangi jendela kamar Mae, masih tertutup rapat. Sepanjang hari kemarin kudengar berulang kali ayah tirinya memukuli Mae, bahkan terkadang ibunya pun urun berbuat sama. Aku miris, trenyuh. Aku merasa menyesal, sedikit banyak aku juga ikut bersalah. Tapi aku tak bisa memberi pembelaan bagi Mae.
Pagi ini tetap sunyi, langit masih biru tua, sinar matahari belum juga tampak. Dan aku masih sendiri. Kupikir aku tak akan bertemu lagi dengan Mae. Aku hanya bisa berdoa untuknya di setiap munajatku. Satu persatu pakaian kujemur, perlahan air mataku menetes. Aku tak tahu bagaimana keadaan Mae saat ini.
Kuraih potongan baju yang terakhir. Tiba-tiba jendela kamar Mae terbuka keras. Dari balik kamar yang temaram tampak Mae melangkahkan kakinya ke genting rumahnya.
“Mae!” aku berteriak tertahan, aku tak ingin suaraku membangunkan papi maminya. Namun aku tercenung menatap Mae, tubuhnya sedikit tersinari lampu, tampak pakaiannya sangat kotor, ada banyak noda di kerudung yang ia kenakan. Kukernyitkan dahiku berharap bisa menerjemahkan noda di tubuhnya itu. Mae mulai tertawa kecil, seringainya tampak menakutkan kali ini. Aku terkesiap menyadari apa yang baru saja kuamati.
“Mae!!” teriakku lagi setelah melihat pisau di tangannya. Darah menetes dari sela jemarinya, dan dari mata pisau pun mengalir darah segar. Mae tertawa puas, ia tertawa semakin kencang, dan semakin kencang. Tawa Mae melengking, memecang kesunyian pagi, pisau di tangannya sesaat berkilat tertimpa sinar matahari yang mulai muncul di permukaan cakrawala. Aku tertegun tak mampu bersuara….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar