Selasa, 18 Desember 2007

TARIAN UNTUK SEORANG PEREMPUAN

diterbitkan di Annida no 24, tahunnya lupa juga :)


“Aku akan membuat tarian khusus untuk perempuan itu, Jo. Special!” Harjo melipat satu kakinya ke atas kursi, serasa ia sudah bosan mendengar cerita-cerita Setyo tentang perempuan itu.

“Tarian special gimana?” tanya Harjo setengah aras-arasan.

“Ya, pokoknya yang special, yang beda dari biasa-biasanya, ada gerakan penghormatannya. Dan saat aku menunjukkannya kepada perempuan itu nanti tarianku akan kututup dengan gerakan penghormatan ke depan dia,” tukas Setyo berapi-api.

“Kayak tentara aja pake penghormatan segala,” ketus Harjo.

“Bukan penghormatan gini…,” ujar Setyo seraya merapatkan telapak tangan kanannya ke kening.

“Tapi seperti penghormatan seorang pangeran pada putri,” tambahnya lagi seraya membungkuk dan melipat tangan kanannya ke depan perut.

“Lamar aja sekalian.”

“Wah… kok kamu nesu? Cemburuuu….”

“Ih… emang hombreng?! Sorry ya mas?!” Harjo menirukan suara cempreng banci.

“Pokoknya berapa pun uang yang akan dia masukkan nanti, aku akan memberikan tarian special untuknya, semua durasi musik itu. Aku akan pasang senyumku yang paling manis saat perempuan itu datang.” Harjo manyun sembari tangannya meraih selembar kertas dan sebatang pensil, ia mulai menggoreskan hitam di atas putih.

“Aku gunakan kemampuan breakdanceku.”

“Biasanya kamu juga breakdance.”

“Tapi ini beda! Bahkan kalau perlu aku tambahkan dancenya Michael Jackson,” Setyo bergerak menirukan tarian-tarian Michael Jackson. Sebuah topi tukang sulap yang tergatung di dinding diraihnya dan dipadukan dengan gerakan-gerakan patah tarian Jackson, ditambah moonwalk yang sama sekali tidak luwes, dan diakhiri dengan satu gerakan penutup.

“Aw! I-hi!!” ia menirukan teriakan king of pop itu. Harjo tak peduli, tangannya terus mencoret-coret kertas. Ia sudah terbiasa dengan ide-ide gila teman sekontrakannya itu sejak pertamakali Setyo memutuskan untuk menjadi… hm… pengamen? Ya, minimal itu istilah yang tepat untuknya.

“Tapi pengamen kayak aku kan beda, Jo. Belum ada di Indonesia yang kayak gini. Baru ada di Jepang aja,” ujar Setyo saat itu. Ia memang mendapat ide ‘gila’ itu saat membuka majalah anak-anak yang sudah usang dan melihat salah satu pengamen unik di Jepang. Ia pun semangat 45 meniru pengamen itu. Dengan bekal ilmu teater dan ilmu tari yang ia dapatkan saat menempuh studi di ISI jurusan senitari, ia memutuskan untuk ‘menari di jalanan’.

“Kreatif memang”, itu yang terbersit di benak Harjo sejak awal. Temannya yang satu ini memang tak pernah kekurangan ide. Tapi susahnya untuk menjadi pengamen jenis yang satu ini butuh modal yang tidak sedikit.

“Ngamen kok modalnya gede!”

“Lho, kan kalau mau total di satu profesi harus berani mengorbankan apa saja, termasuk duit.”

“Ngamen kok profesi.”

“Tapi kan pengamen kreatif?! Anak-anak pasti banyak yang suka, bahkan orang dewasa. Bajunya aja ngejreng gini, gimana nggak menarik perhatian?”

“Iya, disangka orang gila.” Setyo cuek, tetap mematut diri di depan cermin. Kostum barunya yang futuristik ala robot pas di badan, dengan penutup kepala seperti ‘Power Ranger’ , dan warna seluruhnya yang abu-abu metalik, persis robot. Ditambah kotak musik sewarna yang dirancang khusus sesuai pesanan Setyo. Ia meminta salah satu teman SMAnya yang lulusan teknik mesin ITS untuk membuat sebuah kotak musik yang akan berbunyi bila dimasuki uang receh di dalamnya. Kalau uang yang dimasukan seratus rupiah, maka durasi musik yang mengalun selama 30 detik, kalau duaratus ya 2 X 30 detik, kalau lima ratus 2 menit, seribu rupiah 3 setengah menit. Kalau lima puluh rupiah, kotak itu tidak mau menerima, uang akan keluar lagi seperti telepon umum.

“Pengamen mahal, ngamen kok pake tarif!” komentar Harjo.

“Lho, kan seimbang dengan performance artnya, profesional donk…,” jawab Setyo. Harjo manyun lagi.

Yang jelas untuk kotak musik dan kostum robotnya memakan biaya lebih 200 ribu rupiah, jumlah yang sangat besar bagi pengangguran seperti mereka berdua. Tapi Setyo tak peduli, ia optimis hasil yang akan ia peroleh pun akan besar setiap harinya.

Namun harjo tak menghalangi niat nyleneh temannya itu, toh ia juga tak punya alternatif pekerjaan lain selain sebagai pelukis wajah, dengan bekal ilmu senirupa yang juga ia peroleh dari ISI. Sayangnya seniman seperti mereka tak begitu digubris di kota sekecil Jombang. Seharusnya mereka tetap bertahan di Jogja. Tapi mereka ingin pulang kampung, idealisme membangun kampung halaman masih melekat, walau nyatanya pada akhirnya mereka kurang dihargai.

Setyo melengkapi modal ngamennya dengan menciptakan tarian-tarian kaku seperti robot atau boneka. Ia paskan dengan musik dance yang mengalun dari kotak musik. Harjo yang kebagian mengaudisi. Ia masukkan uang seratus, lima ratus, lalu seribu rupiah. Setiap kali koin masuk, musik mengalun dan Setyo mulai menari seperti sebuah robot, kaku, patah-patah, dan statis.

“Tapi keren juga,” pikir Harjo dalam hati.

Dan sejak saat itu resmilah Setyo menjadi pengamen. Awalnya ia berdiri di depan bangunan pasar yang terletak di antara jajaran toko-toko sepanjang jalan Ahmad Yani. Berdiri siap dengan gerakan pertama dan disampingnya kotak musik diletakkan di atas bangku tinggi, dengan ditempeli tulisan “MASUKKAN UANG, DAN AKU AKAN MENARI UNTUKMU”.

Ia mematung di bawah terik matahari. Hanya saat matahari di timur ia terlindungi bayangan toko pakaian, dan ketika matahari mulai condong ke barat ia tertutupi bayangan tempat parkir sepeda motor. Tapi jika matahari tinggi, ia terpanggang di bawahnya. Perjuangan yang cukup keras. Namun lama-kelamaan ia diperbolehkan pengawas pasar untuk berdiri di atas panggung joglo di tengah halaman depan pasar itu, dan ia pun semakin nyaman terlindung matahari di bawah atap panggung.

Timbang cuma dipake cangkruk, Mas,” ujar pengawas pasar. Hanya saja saat panggung itu dipakai, ia harus rela menyingkir dan kembali ke bawah sinar matahari.

Kedatangannya ke pasar itu menghebohkan seluruh pembeli dan penjual. Anak-anak menarik-narik orang tuanya, memaksa untuk memasukkan uang ke kotak musik dan melihat tarian robot itu. Bahkan orang dewasa pun penasaran ingin melihat tariannya. Anak- anak kecil tertawa kegirangan, orang dewasa tersenyum, ada yang geleng-geleng kepala, ada pula yang kagum. Bahkan Setyo mendapatkan tepukan yang meriah pada tarian yang pertama.

Hari pertamanya bekerja ia hampir tak pernah berhenti menari, setiap musik habis selalu ada-ada saja yang memasukkan koin ke kotak musik. Yah, pasar tak pernah sepi pengunjung. Setyo kelelahan, badannya pegal dan linu. Setelah ia betul-betul lelah ia akhiri aksinya. Diraihnya kotak musik dan ia melangkah santai ke kamar mandi pasar untuk mengganti pakaiannya.

“Lho, robote kok iso lenggang kangkung?” kelakar seorang tukang becak yang nongkrong di dekat panggung mengomentari.

Pegel Mas,” jawabnya disambut tawa orang-orang di sekitarnya. Tapi Setyo puas, pendapatannya lumayan besar untuk recehan sebanyak itu. Ia tertawa bangga seraya menunjukkan logam-logam emas dan perak itu pada Harjo.

“Betul kan Jo? Ini baru hari pertama, belum besok-besok. Lumayan Jo.” Harjo tertegun melihat pendapatan Setyo. Ada iri terbersit di hatinya, ia belum pernah mendapatkan uang sebanyak itu. Kerjanya sebagai pelukis wajah kurang begitu laris di Jombang. Tapi Harjo menyadari kelebihan Setyo. Watak Setyo yang melankolis sempurna membuatnya selalu serius mengerjakan sesuatu, dan itu menyebabkan ia hampir selalu berhasil mendapatkan apa yang ia mau.

“Siapa tahu suatu saat nanti aku diundang ke pesta ultah anak-anak,” pikir Setyo berangan-angan.

“Ngimpii…!” ujar Harjo. Tapi benar saja, Setyo akhirnya diundang ke sebuah pesta ultah anak-anak. Ada saatnya ia harus menunjukkan tariannya di panggung untuk anak-anak yang hadir, dan mereka bersorak gembira. Honor yang ia peroleh cukup besar saat itu.

Pengamen yang satu ini memang sukses, ia semakin terkenal, bahkan sempat masuk koran.

“Masuk koran?” tanya Harjo tak percaya ketika Setyo bercerita padanya.

“Iya, tadi aku diwawancara sama wartawan Jawa Pos. Katanya besok beritaku terbit.”

“Ah, paling di Radar Mojokerto.”

“Lho… ya gak no!! Ya di rubrik entertainment, dijajarin sama artis atau kolom budaya,” ralat Setyo. Harjo terkekeh, ia membayangkan berita Setyo berada di antara berita-berita pembunuhan dan pencurian.

“Lama-lama aku terkenal, Jo. SeIndonesia!” Memang akhirnya Setyo semakin terkenal, di seantero pasar, bahkan di seluruh Jombang. Ia pun mulai dikenal di kota lain. Sayangnya ia lebih dikenal sebagai ‘Pengamen Panji Manusia Millenium’, tidak tersohor atas namanya sendiri. Tapi ia tak ambil pusing, yang penting Setyo menikmati profesi itu.

“Tarianku harus terus diperbarui setiap sebulan sekali, biar pelanggan nggak bosen,” ujarnya suatu saat.

“Pelanggan?”

“Iya. Apa nggak boleh pengamen seperti aku punya pelanggan?”

“Memangnya ada?”

“Ada! Perempuan, cakep lagi. Aku nggak tau sejak kapan di nanggap aku. Tapi lama-lama aku hapal sama wajahnya. Paling nggak dia seminggu sekali ke pasar, dan setiap kali dia datang pasti dia nanggap aku.”

“Pasti?”

“Iya.”

“Alah… cuma gara-gara dia cewek kamu hapalin. Siapa tau ada pelanggan lain. Arek cilik, elek, umbelen, gak mbok gathekno!”

“Ya... nggak peduli!! Pokoknya dia itu fansku.”

“Pengamen kok punya fans!”

“Itulah aku, pengamen yang punya fans,” ujar Setyo bangga.

“Dia bener-bener interest ngeliat penampilanku.”

“Sok tau!!”

“Bener! Aku bisa ngebaca dari ekspresi dan pancaran sinar matanya.”

“Huu!!” Harjo mencibir.

“Lho, aku kan mantan anak teater. Taulah aku makna ekspresi orang.” Harjo tak bisa membantah. Dan sejak saat itu Setyo selalu menceritakan perihal fansnya itu setiap kali ia datang ke pasar dan menonton pertunjukan Setyo.

“Kamu nih kayaknya jatuh cinta sama perempuan itu.”

“Kalo aja boleh, Jo. Lha wong dia itu udah maried kok.”

“Lha kok kamu tau?”

“Iya, setiap kali dia ke pasar kalo nggak sama cewek yang satunya ya sama laki-laki, suaminya.”

“Siapa tau laki-laki itu saudaranya.”

“Lha wong perutnya makin lama makin gede kok,” ujar Setyo sambil menggerakkan tangannya menggambarkan perut yang buncit.

“Apalagi itu namanya kalo bukan meteng?”

“Cacingan!”

“Gundulmu!!” Harjo terpingkal.

****

“Dik, sudahlah, istirahat. Jangan kecapean, kondisi tubuhmu tuh lemah. Kasian janin di perutmu,” Budi menatap istrinya yang tengah memasak itu iba.

“Sebentar lagi Mas, nanggung,” jawab Lestari singkat.

“Sudah sini aku yang kerjain.”

“Nggak usah, Mas Budi baru pulang, masih cape.” Tapi Budi tetap duduk di sisi Lestari dan membantunya meracik masakan.

“Biar Dewi yang nerusin,” ujar Budi lagi.

“Dewi tidur, dia barusan aja datang dari sekolah. Jangan di ganggu.” Budi diam, tak membantah kemauan istrinya yang keras kepala itu. Watak workaholic sudah melekat, walau pun tubuhnya ringkih pesakitan, ia seperti tak kenal lelah. Lestari terus bekerja, membersihkan seluruh rumah, menjahit pakaian bayi, bahkan terkadang ia berjalan kaki ke pasar. Walau pun Dewi, adik Budi tinggal bersama mereka, Lestari tak ingin geraknya dihalangi. Ia memang pekerja keras, tak mau berhenti bekerja walau usia kandungannnya masih sangat muda. Namun tubuh itu kurang gemuk untuk ukuran wanita hamil. Kenaikan bobotnya tak sampai 10 kg dan itu bukan berat yang ideal.

“Kamu boleh kerja kayak gitu kalau kandunganmu sudah besar. Sekarang jangan dulu.” Lestari hanya tersenyum kecil.

“Mas tau nggak aku pingin apa?”

“Apa?”

“Kenalan sama robot di pasar itu.”

“Ha?!” serasa Budi tak percaya atas jawaban istrinya.

“Bener Mas. Nggak tau kenapa aku salut sama anak itu, kreatif banget. Dia berani bikin sensasi. Ngamen dengan cara itu kan lebih baik dari pada nyanyi nggak karuan trus maksa orang untuk ngasih uang. Gerakannya juga kayak robot beneran.” Budi tak memberi komentar apa pun. Ia tak habis pikir dengan keinginan aneh itu.

“Bawaan orok apa ya Mas?”

“Ngidam kok aneh-aneh, Dik!” sahut Budi. Lagi-lagi Lestari tersenyum.

Dan kandungan Lestari semakin besar, ia tak pernah bosan melihat pengamen itu. Setiap kali ia datang ke pasar bersama adik iparnya atau dengan suaminya, ia selalu menyempatkan diri untuk memasukkan kepingan uang ke dalam kotak musik dan tersenyum menikmati tarian robot itu.

***

Dan Setyo semakin antusias, Harjo semakin jenuh. Tapi Harjo tak ingin mengeluh di depan sahabatnya, karna temannya yang baik itu tak pernah berat tangan untuk membantu. Sejak Setyo menekuni profesi ini beberapa bulan yang lalu mereka mulai bisa makan ayam dan telur. Perut mereka semakin jarang keroncongan. Setyo pun terkadang membantu Harjo menyediakan alat melukisnya.

“Untuk fans setia ada service khusus.”

“Service apaan?”

“Aku akan membuat tarian khusus untuk perempuan itu, Jo. Special!”

“Tarian special gimana?”

“Ya, pokoknya yang special, yang beda dari biasa-biasanya. Ada gerakan penghormatannya. Dan saat aku menunjukkannya kepada perempuan itu nanti, tarianku akan kututup dengan gerakan penghormatan ke depan dia...”

Mbuh lah Yo, karepmu. Sing penting ojo ngisin-isini!” Harjo meletakkan gambar hasil goresannya ke atas meja. Setyo meraih dan mengamatinya. Gambar suasana pasar dengan robot Setyo sebagai center of interest, dan perempuan itu di antara penontonnya.

“Jo, jilbabnya kurang gede, Jo. Dia nggak pake jilbab kecil kayak gitu. Bajunya rapet kok!” Setyo protes menyalahkan gambar Harjo, tapi Harjo tak peduli.

* * * *

“Mas Budi, Mbak Lestari mau melahirkan!!” Budi terhenyak demi mendapat kabar via telepon dari Dewi. Ia bergegas meninggalkan pekerjaannya dan menuju rumah sakit. Di tengah jalan benaknya tak berhenti berpikir, usia kandungan Lestari baru tujuh bulan, dan itu artinya anaknya lahir prematur.

“Ya Allah... selamatkan anak istriku,” Budi tak henti berdoa.

Ia tertegun memasuki ruang bersalin. Di sana istrinya tengah berjuang meregang nyawa. Budi meraih tangan Lestari, berusaha menyalurkan energi pada istrinya. Ia turut memberikan semangat, kekuatan, dan doa. Perjuangan itu terasa sangat lama, Lestari pucat, seluruh tubuhnya basah berpeluh. Hanya satu yang Lestari harapkan, perjuangan ini segera berakhir dan anaknya terlahir dengan selamat. Hingga kontraksi terakhir, dan tangis bayi pecah membahana.

“Laki-laki, Pak. Sehat,” ujar bidan yang menolong Lestari.

“Alhamdulillah...,” Budi bernapas lega. Dikecupnya kening Lestari, dan saat itulah ia rasakan genggaman tangan Lestari melemah dan lepas. Bibirnya lirih mengucap asma Allah sebelum akhirnya matanya tertutup rapat. Budi terpana, beberapa detik ia terdiam, dan detik berikutnya ia mulai memanggil-manggil nama Lestari, menepuk-nepuk pipinya berharap mata itu kembali terbuka. Para suster kalut, semua berusaha mengembalikan detak jantung Lestari. Tapi terlambat..., dan Budi menangis memeluk tubuh Lestari yang lemas tak bernyawa.

* * * *

“Sampai kapan kamu latihan tarian itu, Yo?” tanya Harjo demi melihat Setyo yang tak pernah lelah berlatih tarian special untuk fansnya.

“Ya sampai perempuan itu datang lagi,” jawab Setyo enteng.

“Iya, tapi kapan? Sudah berapa bulan dia nggak muncul.”

“Mungkin dia sudah melahirkan, dan sekarang masih diam di rumah nyusuin anaknya sampai anaknya bisa diajak pergi. Setelah itu dia akan ke pasar lagi.”

“Bosen aku liat kamu latihan tarian itu terus. Aku aja sampe hampir bisa. Gini tho?” seloroh Harjo menirukan tarian Setyo. Setyo mengangkat jempolnya.

“Kalo dia nggak ke pasar lagi gimana?” tanya Harjo lagi. Setyo terdiam sesaat. Ia pun sebenarnya hampir putus asa, sudah hampir empat bulan perempuan itu tak pernah muncul. Tapi Setyo enggan patah semangat.

“Ah, aku yakin suatu saat dia datang lagi ke pasar, dan aku akan menunjukkan tarian ini padanya.”

“Sampai kapan?”

“Kapan pun!!” jawab Setyo singkat.

Tidak ada komentar: