
“Anda mencari saya?” tanyanya acuh tak acuh.
“Sorry anda menunggu lama. Sebenarnya saya masih harus menyelesaikan satu berita lagi, tapi… its OK, silakan, to the point saja!” pria itu membenahi posisi duduknya, lalu terdiam menantiku bersuara. Kutatap wajahnya lekat, kubuka lembaran kertas di tanganku. Pandanganku beralih dari gambar seorang pria di potongan tabloid itu ke pria di depanku.
“Apa ini anda?” tanyaku ragu seraya menyodorkan potongan tabloid itu, diraihnya kertas dari tanganku.
“Hm…, ya, benar. Lalu?” tanyanya lagi.
“Jadi benar anda Renauld Pangemanan, wartawan foto?”
“Ya… ya… benar, itu saya. Tolong cepat sedikit!” ujarnya tergesa. Aku kembali terdiam. Tanganku merogoh saku dalam jaketku dan mengeluarkan sebuah majalah dari situ. Kubuka satu halamannya, lagi-lagi kusodorkan majalah itu.
“Itu karya anda, itu hak anda. Saya tak pantas menerimanya. Jadi sekarang saya kembalikan milik anda itu, yah… sekaligus sebagai pengakuan dosa dan permintaan maaf,” hanya itu yang mampu kuucapkan. Renauld Pangemanan, fotografer salah satu tabloid politik terkemuka itu mengernyitkan dahinya. Lamat bola matanya bergerak menyusuri kalimat-kalimat majalah di hadapannya. ‘Juara pertama lomba foto “Indonesia Bersejarah”, Dharu Suwandono. Judul foto “Euforia”.’ Senilai nominal jutaan rupiah tertera di bawahnya.
* * * *
“Ru…, Dharu…, lo menang Ru!” suara cempreng Mang Eang mengalihkanku dari monitor komputer. Dari jauh tampak Mang Eang berlari ke arahku sembari mengacungkan sebuah majalah di tangannya. Sesaat kemudian ia sudah menongolkan kepalanya dari jendela,
“Lo menang, hh…hh…hh…, congratulation, kaya mendadak lo!” dengan napas terengah Mang Eang menyorongkan majalah yang ia bawa ke mukaku. Kurebut majalah itu. Terpana aku demi menatap sebuah foto yang terpampang di situ.
“Wow… cihuy!!! Aku menang Mang, aku menang!!” layaknya seorang bocah cilik aku jejingkrakan lompat dari kursiku, suara teriakanku mampu meredam gedubrak kursi yang terjatuh.
“Wah, nggak nyangka nih,” ujarku lagi masih tak percaya.
“Apa juga gue bilang, foto itu emang bagus. Lo sih nggak percaya,” kelakar Mang Eang menanggapi binar mata bahagiaku.
“Gede juga hadiahnya, Ru. Bisa pesta deh lo. Eh, tapi jangan lupain gue ya,
“Iya lah, tenang Mang, aku nggak bakalan lupa kok,” sahutku sok sombong.
“Ya udah deh, gue balik dulu, nggak ada yang nungguin tuh kios, entar kecolongan lagi. Ya, gue balik. Eh, jangan lupa traktirannya,” ujarnya seraya pergi.
“Iya, iya, tenang aja, ditanggung deh!”
“Eh Ru…,” Mang Eang kembali nongol ke jendela,
“Selamat ya. Beruntung lo Ru, nggak ikutan ngejepret, dapat duit, dapat nama, dapat hadiah lagi. Syukurin tuh!” aku terhenyak, kalimat itu begitu menusuk nuraniku. Aku hanya tersenyum kecut pada Mang Eang, dalam waktu singkat girangku melayang tersaput kalimat Mang Eang barusan. Aku tergugu di atas kursi, ya… aku baru sadar, ini bukan fotoku, ini bukan milikku, ini bukan karyaku, ini milik orang lain, ini… otakku berputar, mengembalikan memoriku tiga tahun silam…
* * * *
“Mang Eang, Mang punya duit?” tanyaku pelan pada Mang Eang.
“Duit? Mana ada, gue aja lagi nyari pinjaman
“Sorry ya Ru, gue juga lagi tongpes. Coba lo tanya sama si Bahrur ato Tejo, kali aja mereka punya.” Aku enggan menanggapi usul Mang Eang, aku tau betul siapa itu Bahrur, apalagi Tejo. Rentenir kacangan yang sok berlagak garang pada orang lain yang tetap memohon belas kasihan mereka untuk memberikan hutangan walau sudah tau resiko riba yang bakal mereka tanggung.
“Lo sama sekali nggak punya?” tanyanya lagi.
“Sumpah Mang, aku nggak punya sepeser pun, buat makan hari ini aja aku nggak tau harus nyari ke mana,” jawabku pasrah.
“Yah..., elo, lo
“Siapa yang nggak usaha Mang. Aku udah nyari kerjaan ke mana-mana. Tapi Mang tau sendiri lah, kayak gimana nyari kerjaan di
“Iya, gue tau. Tapi
“Lo buka usaha aja. Kecil-kecilan…,”
“Ya, aku sih sudah punya niat pengen punya komputer, trus nanti aku terima pengetikan buat anak-anak sekolah atau mahasiswa. Walau pun cuma satu komputer cukup lah…”
“Nah itu lo punya ide, wujudin aja!”
“Yah… Mang Eang, Mang
“Lo ikutan ngejarah aja!’ ujarnya spontan, namun sesaat kemudian ia terkekeh.
“Becanda Ru, gue becanda,” aku hanya tersenyum getir. Yah, Walau bagaimana pun aku hanya aku, Mang Eang hanya Mang Eang, kami cuma orang-orang pinggir di tengah kota besar ini, tak lebih! Sesaat kami sama-sama terdiam, mencerna omongan masing-masing.
“Ya udah deh, sekarang lo ikut makan di rumah gue, tapi buat hari ini aja. Besok lo kudu nyari duit sendiri. Emang gue Emakmu yang ngasih makan?” ujar Mang Eang. Aku hanya sanggup mengucapkan terima kasih. Entah ini sudah yang keberapakali Mang Eang menolongku, mungkin sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Sesaat kalimat Mang Eang barusan mengingatkanku pada ibu di rumah. Hh, aku sudah lama tak mengirim kabar padanya, Jawa Timur menjadi sangat jauh di mata dan hatiku. Seperti sudah terlupa pada kampung halaman, sudah hampir setahun sejak aku putus kuliah aku tak pulang. Aku malu pada ibu bila ibu tau anaknya tak lagi kuliah. Lagipula beban ibu sudah berat, tak perlu lagi aku menambah bobotnya. Biarlah semua ini kutanggung sendiri walau harus jungkir balik melalui sejarah kehidupanku.
Di dalam kamar sempitku aku termenung teringat kata Mang Eang. Jarah? Apa aku memang harus menjarah barang-barang toko seperti yang beberapa hari belakangan banyak dilakukan orang, termasuk penduduk di sekitar rumah sewaanku? Tapi aku tau nuraniku menentang itu, lagi pula resikonya sangat besar. Aparat ada di mana-mana, apalagi bagaimana kalau tiba-tiba saat aku menjarah sebuah toko tiba-tiba toko itu dibakar dan aku ikut terpanggang di dalamnya? Aku tak mau ikut-ikutan jadi korban pemanggangan manusia itu. Lagipula kalau aku menjarah…, aku mulai mengkalkulasi harga seperangkat komputer. Berarti barang yang harus aku ambil…, hh, gila, itu pikiran gila!!
Mataku memandang keadaan sekeliling, ribuan manusia turun ke jalan, rusuh!! Sedari tadi hanya pemandangan suram yang aku temui, mulai dari gerakan mahasiswa yang menuntut turunnya presiden dan reformasi, sampai
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada seorang pria di seberang. Dari penampilannya kupikir ia seorang wartawan.
“Makasih, semoga Tuhan membalas kebaikanmu,” dengan nada mengejek aku meninggalkannya berlalu, lalu sesegera mungkin kakiku berpacu menerobos gang-gang sempit yang telah begitu kuhapal medannya. Hh… hh… tersengal napasku memburu. Kupandangi kamera di tanganku. Hatiku berseteru antara pertentangan dan keberuntungan. Aku tahu kamera ini harganya jauh lebih mahal dari hanya seperangkat komputer. Sebentar lagi aku bisa mewujudkan impianku, dan aku tak perlu lagi menyusahkan Mang Eang.
“Nih, baca!” ujar Mang Eang seraya menunjukkan sebuah tabloid politik ke hadapanku. Perlahan kubaca tulisan itu, lalu seulas senyum terhias di ujung bibirku.
“Nggak pa-pa deh Mang, dia juga pasti udah cukup kaya, nggak kayak kita-kita ini. Boleh lah dia nyumbangin sedikit hartanya buat nolongin kita. Iya
“Terserah elo deh Ru. Tapi lumayan juga sih. Dari kamera itu lo bisa beli komputer dan nggak perlu ngutang-ngutang lagi sama gue. Sekarang malah gue yang bisa ngutang sama elo.”
“Ah, no problem Mang, itung-itung balas budi.” Mang Eang hanya tertawa kecil.
Sepergi Mang Eang kubaca lagi tulisan di tabloid itu. Wajah pria di situ masih kuingat jelas, ia adalah wartawan yang menginfakkan kameranya padaku. Hehehe… aku tertawa sendiri. Kasihan juga sih, di berita itu ia menuturkan pengalamannya saat meliput berita dua hari lalu, terutama perihal keapesannya kehilangan sebuah kamera yang direbut oleh seorang pria. Ya, pria itu aku. Hehehe… lagi-lagi aku terkekeh.
* * * *
Mang Eang melihat foto-foto di tangannya. Foto yang bagus, dari kamera rampasanku dulu. Sengaja filmnya tak kubuang, hitung-hitung kenang-kenangan, pikirku. Sayangnya, wartawan itu baru memakai sebelas frame dari 36 frame foto. Dan walau sudah dua setengah tahun yang lalu foto itu masih rapi kusimpan, siapa tahu suatu saat berguna. Lagipula ternyata wajahku pun ada di situ, di frame yang terakhir. Saat aku akan merampas kameranya, ternyata fotografer itu sempat menekan tombol kamera. Lumayan lah, ikutan nampang!!
“Nih, gue milih foto ini, menurut gue foto ini yang paling bagus, trus kasih judul, mm... euforia!! Gimana?” ujar Mang Eang.
“Apaan sih Mang,” tanyaku lagi. Mang Eang tak berkata apa-apa, ia hanya menyerahkan sebuah brosur.
“Lomba foto? Maksud Mang Eang…?”
* * * *
Perlahan aku melangkah menyusuri jalan tanah becek yang baru saja tersiram hujan. Beberapa meter lagi aku tiba di rumah. Tampak dari kejauhan Mang Eang tersenyum, menunggu di depan rumahku.
“Hai Mang, ada apa?” tanyaku.
“Wah…, nggak nyangka gue, lo laku juga jadi model,” ujarnya sembari tertawa.
“Model apaan?” tanyaku tak mengerti.
“Lo liat aja sendiri,” sahutnya lagi sambil menyerahkan sebuah majalah fotografi. Kubalik halaman-halamannya. Tepat pada satu halaman, aku terbelalak. Wajahku nampang di situ. Close up tiga per empat wajahku lengkap dengan seringai culasnya menjadi frame gambar, dengan posisi tangan yang terulur ke depan, dan back ground kerusuhan dan penjarahan di belakangnya. ‘Juara pertama lomba foto “EKSPRESI”, Renauld Pangemanan.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar