Rabu, 19 Desember 2007

MAWAR MERAH BUATAN NUNING


Dimuat di Kompas Anak 25 April 2004

Nuning tidak mengerti bagaimana ia tiba-tiba sudah berada di sebuah negeri yang asing, sangat asing. Sebelumnya siang itu ia sedang membuat bunga-bunga mawar dari pita merah. Sejak awal dia mendengar suara-suara berbisik di belakangnya, tapi dia tidak menemukan sumber suara itu. Dan tepat ketika bunga terakhir terangkai di vasnya, tiba-tiba, “BLUB!” muncul tiga kurcaci yang segera melompat seraya menyergap kepala Nuning dengan kain hijau. Tak memberi kesempatan bagi Nuning untuk menghindar, apalagi bertanya, “Siapa kalian? Mau apa kalian?”

Dan sedetik kemudian Nuning sudah berada di negeri ini. Negeri yang sangat aneh, penuh dengan pepohonan yang rimbun, rumput hijau dan lumut di sana sini. Nuning juga dikelilingi kurcaci-kurcaci mengenakan pakaian hijau. Parahnya lagi tak ada gunanya Nuning bertanya,

“Aku di mana? Kalian siapa? Mengapa aku di bawa kemari?” Karena ternyata kurcaci-kurcaci itu menggunakan bahasa yang sama sekali berbeda dan belum pernah Nuning dengar. Di depan Nuning kurcaci yang sudah tua, berjenggot putih lebat, berperut gendut, duduk di sebuah kursi yang terbuat dari belitan akar-akar tunjang pohon besar di belakangnya. Sepertinya ia adalah raja para Kurcaci ini.

Metruekaa, ko simanharo suhnaaitu ah?” Raja itu berkata pada Nuning

“Ha?” Nuning sama sekali tidak mengerti ucapannya.

Ko simanharo suhnaaitu, kopuoliy. Huniwopoo, goro?”

“Ha?! Bicara apa sih? Sumpah saya nggak ngerti,” Nuning semakin bingung. Tapi sang Raja malah berkata-kata semakin panjang sambil menunjuk ke pepohonan di sekililingnya. Nuning bengong. Raja tersenyum melihat ekspresi Nuning, lalu ia berkata pada kurcaci lain, yang tampaknya kurcaci wanita. Usia kurcaci itu sepertinya sebaya dengan Nuning. Ia mengenakan pakaian hijau, berambut panjang dan berwajah manis.

Kii potukri!” Raja memberi perintah padanya.

Goh,” kurcaci wanita itu menunduk hormat pada Raja. Lalu ia mengajak Nuning untuk keluar dari situ. Nuning menurut saja. Ia berjalan mengikuti kurcaci wanita itu sambil matanya tak henti memperhatikan tempat itu.

Nuning dibawa ke sebuah ruangan. Dan ternyata bunga yang baru saja selelsai dibuatnya di rumah, sekaligus bahan dan alatnya, pita merah, kawat dan pelipitnya, benang, jarum, dan gunting, sudah ada di situ.

Pokiuty, erwasoo hui yupokliugi wiiku,” kurcaci wanita itu menunjuk bunga mawar buatan Nuning.

“Apa maksud kamu?” tanya Nuning.

Pokiuty, hui kutt polest wiiku,” kuraci itu berbicara lagi dan menunjuk pula ke bahan-bahan bunga itu sambil tangannya bergarak-gerak memperagakan sesuatu.

“Ka... kamu ingin aku membuat bunga seperti ini? Gitu ya?” sepertinya Nuning memahami perkataan kurcaci itu, walau pun ia juga tidak yakin. Kurcaci itu, yang juga tidak memahami ucapan Nuning terus saja berbicara. Ya sudahlah, pikir Nunig dalam hati. Ia memutuskan untuk membuat mawar itu, walau pun ia belum yakin apa sebetulnya maksud ucapan kurcaci itu.

Nuning mulai membuat bunga-bunga mawar merah. Ia menggunting pita, menekuknya menjadi mahkota. Kemudian menjalin rangkaian mahkotanya dengan benang jahit. Kawat pun siap dipelipit untuk jadi tangkai bunganya. Nuning menyatukan mahkota dan tangkai serta daun bunga menjadi setangkai bunga mawar cantik. Dan tak perlu menunggu lama, delapan bunga yang lain menyusul.

“Jadi deh, tapi maaf, hanya ini yang bisa kubuat. Bahannya sudah habis,” Nuning menyorongkan rangkaian bunga mawar di tangannya. Kurcaci meraih dan berbinar menatap mawar merah merekah itu. Dia melompat-lompat kegirangan sambil berteriak-teriak senang dan keluar menuju ruang sang raja.

Wiikusuri toryu... hui!” kurcaci wanita itu menunjukkan bunga mawar pada raja. Raja dan semua kurcaci di ruangan itu terperangah. Raja tersenyum dan turun dari singgasananya dan meraih bunga itu. Tampak kebahagian terpancar di wajahnya yang terlihat bijaksana. Sementara kurcaci yang lain melonjak-lonjak gembira. Banyak kurcaci mengintip ke dalam ruangan raja, dari pintu juga dari jendela. Semua tampak gembira menatap bunga itu. Nuning masih bingung, betapa senangnya mereka pada bunga buatan Nuning. Apa istimewanya? Pikir Nuning.

Kemudian raja memberi perintah lagi sambil keluar menuju halaman, semua kurcaci mengikutinya. Raja mengambil satu tangkai mawar, sementara yang lain diserahkan pada pengawalnya. Kemudian raja menancapkan mawar itu ke tanah, dan disambut sorak sorai seluruh kurcaci. Menyusul para pengawal menancapkan tangkai-tangkai mawar yang lain. Begitu selesai para kurcaci melompat-lompat, menari-nari berputar-putar sambil berpegangan tangan. Nuning terperangah menyaksikan ini. Ia mulai mengerti untuk apa mawar-mawar itu. Ia baru sadar keanehan yang ada di situ, yaitu tak ada warna lain selain warna hijau. Tidak ada bunga-bunga kuning, merah, ungu, atau pun warna lainnya. Bahkan pakaian mereka pun hijau. Dan warna merah mawar palsu itu merekah di antara hijaunya pohon dan rerumputan. Oh! Nuning terharu, air matanya mulai menetes satu per satu., ia merasa sedih karena kurcaci-kurcaci itu tidak mengerti kalau bunga yang mereka tancapkan di tanah adalah bungan buatan. Dan masih banyak bunga lain yang jauh lebih indah dan semerbak, yaitu bunga-bunga yang asli. Nuning tak bisa menahan air matanya melihat wajah suka cita para kurcaci itu. Dan kurcaci wanita tadi melihat Nuning. Ia bertanya dalam bahasanya yang aneh.

“Kalian tidak mengerti, itu bunga palsu, sebentar juga akan rusak dan tidak bisa tumbuh lagi.” Tapi tentu saja kurcaci itu tidak mengerti ucapan Nuning.

“Aku akan pulang, aku akan membawakan kalian bunga yang asli. Tolong antarkan aku pulang, ke rumahku. RUMAH!” Nuning menggoreskan kayu ke tanah, membuat gambar sebuah rumah. Tampaknya kurcaci itu mengerti. Ia mendekati raja. Kemudian raja mendekati Nuning dan mengucapkan sesuatu sambil menyerahkan sebuah pohon mungil yang sangat indah. Belum pernah Nuning melihat pohon seindah itu.

Aliost punokirry, kwui lopuyetio,” ujar Raja pada Nuning.

“Mm... maksudnya makasih ya? Sama-sama,” jawab Nuning memperkirakan perkataan Raja.

“Tapi sebenarnya aku tidak membantu kalian apa pun. Kalau aku pulang nanti kalian boleh membawa bunga asli dari rumahku.” Namun mereka tidak memahami ucapan Nuning. Tiga kurcaci yang tadi membawanya kemari kembali melompat dan menutupkan kain hijau ke kepala Nuning. Dalam sekejap Nuning sudah berada di kamarnya.

Kwui lopuyetio,” ujar salah satu kuracaci itu.

“Eh, tunggu dulu!” kata Nuning sambil menahan agar kurcaci itu tidak pergi. Tampak kurcaci itu heran. Tapi Nuning tidak ambil pusing. Ia berlari ke halaman rumahnya. Diambilnya tiga pot bunga miliknya, mawar, krisan, dan bougenvil yang sejak dulu ia tanam dan dirawat dengan baik. Lalu ia menyerahkan pada ketiga kurcaci itu.

“Tanam dan rawat ini dengan baik. Mereka akan tumbuh dan berbunga di negeri kalian sana.” Wajah kurcaci itu bersinar cerah. Mereka belum pernah melihat tanaman seperti itu.

“Iya, bawa sana. Aku bisa mendapatkan lebih banyak bunga di sini.” Kurcaci itu menatap penuh terima kasih pada Nuning. Nuning tersenyum. Dan setelah berpamitan ketiga kurcaci itu lenyap dari pandangan Nuning. Nuning lega. Ia sudah kembali ke rumah. Ia merebahkan tubuhnya yang penat ke ranjang. Pengalaman hari ini sangat aneh, namun memberi banyak hikmah pada Nuning. Ia bahagia bisa melihat mahluk Tuhan yang lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya dan menolong mereka. Nuning tak pernah lupa kejadian itu. Selain itu ia memiliki sebuah pohon mungil yang sangat indah, yang unik dan tidak dimiliki oleh siapa pun. Setiap kali orang bertanya, “Dari mana kamu mendapat pohon itu?” Nuning hanya menjawab,

“Dari teman baik yang tinggal di tempat yang sangat jauh.” Dan yang paling membahagiakan Nuning adalah ketika sebulan kemudian ia menemukan seikat bunga krisan yang merekah indah tergeletak di meja belajarnya. Tak perlu ditanya, Nuning sudah tahu siapa yang meletakkan di situ.

Tidak ada komentar: